Ayat-ayat Damai dari Poso

Diposting oleh Forum Poso Bersatu

Demam film Ayat-ayat Cinta pun mewabah sampai ke Poso, sebuah kota kecil di Sulawesi Tengah yang sempat dilanda kekerasan komunal-agama yang menahun dan berdarah-darah (2000-2007). Minggu lalu, saya bergabung dengan sekitar 700 anak muda Poso yang ramai-ramai menonton film yang tengah menjadi buah bibir itu di Gelanggang Olahraga Poso. Warga dari dua komunitas agama (muslim dan Nasrani), yang sempat saling mengayunkan parang peperangan, malam itu takzim menonton film romantis yang kental dengan aroma hubungan antaragama itu. Audiens acap meningkahi adegan romantis dalam film itu dengan suara riuh pertanda senang atau olok-olok. Tapi tak ada nada marah atau ricuh malam itu.

Momen itu penting dan sekaligus menarik karena, setidaknya, dua hal. Pertama, besar kemungkinan film yang diputar dan ditonton ramai-ramai itu adalah "versi bajakan"--karena versi original dari film itu memang belum tersedia dalam format VCD. Karenanya, acara itu menandakan betapa cepat dan meluasnya pembajakan karya-karya kreatif anak bangsa, bahkan jauh hingga ke Poso. Kedua, acara malam itu menjadi suatu pertanda bahwa proses perdamaian di Poso telah memasuki babak lanjutan yang cukup menjanjikan. Demi menyokong proses perdamaian yang masih rawan di sana, acara menonton film bajakan secara massal itu bagi saya pantas diberi permakluman.

Namun, benarkah situasi pascakonflik di Poso telah demikian baik dan kondusif? Memang ada sejumlah indikasi positif tentang hal itu. Setelah penyerbuan aparat polisi ke markas "tersangka pelaku tindak kekerasan dan teror" di daerah Tanahruntu, Poso, pada 22 Januari tahun lalu, yang mengakibatkan 13 warga tewas, memang nyaris tak terdengar lagi terjadi tindak kekerasan yang berarti. Sesekali masih terjadi ledakan bom rakitan, tapi tak membawa korban dan kerusakan yang berarti.

Situasi kondusif juga terlihat pada saat peringatan Maulid Nabi oleh umat Islam dan hari raya Paskah oleh umat Nasrani, yang berdekatan pertengahan Maret lalu. Bahkan ribuan umat Nasrani yang merayakan hari suci itu berpawai memasuki kota Poso dari kawasan Tentena, daerah basis kaum Nasrani. Peristiwa semacam itu, demikian menurut sejumlah teman aktivis LSM lokal, merupakan yang pertama dalam beberapa tahun terakhir. Syukur, tak ada insiden buruk yang terjadi. Aktivitas ekonomi juga sudah kembali marak di pasar-pasar. Sejumlah pengungsi sudah kembali dan rumah ibadah juga sudah rampung dibangun di dua wilayah yang menjadi "ikon kekerasan" konflik komunal di Poso, yaitu Kilo 9 (wilayah muslim) dan Lambogia (kawasan Nasrani).

Tak hanya itu. Pemerintah juga telah menunjukkan keseriusannya menyokong proses perdamaian dengan menggelontorkan dana cukup besar. Terhitung sejak peristiwa 22 Januari 2007 itu saja telah lebih dari Rp 100 miliar uang dikucurkan di Poso melalui berbagai skema program, dari dana recovery Poso sebesar Rp 58 miliar, dana pembangunan fasilitas keagamaan untuk dua komunitas senilai Rp 27 miliar, dana pembangunan rumah tinggal sementara oleh Departemen Sosial dan TNI sebesar Rp 18 miliar, hingga pemberdayaan eks laskar (kombatan) sebesar Rp 1,2 miliar oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Guyuran dana besar menggenapi uang ratusan miliar yang sudah disalurkan sejak 2001.

Namun, adakah kabar baik dari warga masyarakat dan gelontoran dana besar dari pemerintah pusat itu memastikan perdamaian akan langgeng di bumi sintuwu maroso tersebut? Tampaknya tidak--atau setidaknya belum. Sejumlah soal masih membelit upaya menyokong dan mengukuhkan perdamaian di sana. Salah satu soal besar adalah: tingginya dugaan angka korupsi dana pembangunan pascakonflik di Poso. Ihwal dana recovery Poso sebesar Rp 58 miliar, misalnya, mantan Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Pendeta Renaldy Damanik telah menulis surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu yang melaporkan adanya dugaan korupsi. Saat ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu sedang melakukan serangkaian program pemantauan dan pengawalan dana tersebut. Namun, hingga kini KPK belum juga turun ke Poso melakukan penelusuran lebih jauh.

Menyangkut dana pembangunan fasilitas keagamaan dua komunitas, juga telah ditemukan indikasi awal yang mengarah ke korupsi. Kabar miring berembus menyangkut pembangunan sebuah pondok pesantren di daerah Tokorondo, Poso pesisir. Saya sempat bertemu dengan sejumlah eks kombatan yang ikut menggarap proyek itu dan mengeluhkan terjadinya "penyunatan" data. Dalam kesempatan menjenguk pondok yang baru saja diresmikan oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie tersebut, penulis menemukan pintu kamar mandi di salah satu bangunan utama tak bisa ditutup lantaran pengerjaan yang buruk.

Rendahnya kualitas tata kelola pemerintahan (governance) di Poso semakin diperburuk oleh konflik berkepanjangan di antara elite lokal, khususnya antara Bupati Poso Piet Inkiriwang dan Ketua DPRD Poso S. Pelima. Soal keabsahan ijazah SMA Piet sempat menjadi isu panas yang nyaris berujung pada pemakzulan dirinya dari posisi bupati bahkan hingga tahun kedua pemerintahannya yang dimulai sejak 2005. Jurus politik Piet Inkiriwang untuk meninggalkan perahu politik yang mengantarkannya ke kursi bupati, yaitu Partai Damai Sejahtera (PDS) yang dipimpin S. Pelima, dan membesarkan Partai Demokrat (PD), membuat situasi politik lokal makin panas. Belum lagi adanya benih-benih perselisihan antara Bupati dan wakilnya, Abdul Muthalib Rimmi, karena diduga terlibat upaya pemakzulan sang Bupati, membuat kinerja pemerintahan daerah dalam menjalankan program-program pascakonflik menjadi makin kisut saja.

Situasi kian runyam lantaran cukup banyak mantan anggota milisi atau eks kombatan yang tidak atau belum mendapat kesempatan pengembangan ekonomi secara memadai. Sementara itu, sebagian dari mereka kini terlibat dalam "bisnis proyek" pascakonflik yang tengah marak di Poso. Dengan pengalaman yang sarat akan penggunaan instrumen dan teknik kekerasan, mereka menjadi salah satu simpul warga yang mudah dimobilisasi untuk meletikkan kekerasan baru di Poso. Kombinasi dari buruknya praktek tata pemerintahan serta tersedianya simpul kekerasan warga di Poso inilah yang, antara lain, memunculkan insiden pemukulan Kepala Dinas Permukiman dan Tata Wilayah Ir Max Tungka pekan lalu lantaran ketidakpuasan terhadap proyek tender yang tidak transparan dan beraroma manipulasi (Radar Palu, 28 Maret 2008).

Di tengah karut-marut upaya membangun perdamaian dalam situasi pelik pascakonflik di Poso inilah, ikhtiar sejumlah kaum muda secara bersama-sama untuk menonton film Ayat-ayat Cinta memercikkan warna cerah pada potret kusam Poso. Semoga ia mewartakan ayat-ayat damai di bumi sintuwu maroso. (Muhammad Najib Azca, Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada dan Kandidat Doktor di Universitas Amsterdam).

SUMBER: kontras.org
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com/

0 komentar: