Konflik dan Perdamaian di Poso

Diposting oleh Forum Poso Bersatu

Kekerasan yang pecah di Poso pada bulan Desember 1998, dan berlanjut tahun-tahun berikutnya, diakui atau tidak telah merusak hubungan umat beragama, khususnya Islam dan Kristen di daerah itu. Poso butuh waktu beberapa tahun untuk memulihkan hubungan emosional dan sosial keagamaan, padahal sebelumnya hubungan ini sudah terbina baik. Bagaimana toleransi beragama di Poso saat ini?

Provokasi dari luar
Di Poso, berbedar aneka agam pendapat soal penyebab konflik Islam Kristen. Walau begitu, sebagian besar warga yakin, kemelut berdarah yang mendera umat Islam dan Kristen di bumi Sintuwu Maroso dari tahun 1998 hingga 2003 adalah akibat provokasi pihak luar.

Penduduk: "Saya bilang, itu orang-orang dari luar, bukan orang Poso. Saya yakin, orang yang asli Poso tidak ingin seperti itu. Mana ada sih orang yang mau tempat tinggalnya di mana dia lahir malah ingin kacau. Saya bilang, ini orang luar yang memprovokatori lantas warga Poso masih ada yang gampang terpancing emosi. Baik dari kriten maupun dari muslim."

Ustad Ramang Bima: "Itu kecemburuan sosial, ditunggangi SARA. Bukan antara Islam dan Kristen. Tapi ini dari orang-per orang, dari elit politik setempat.Mereka meniupkan, ini adalah konflik agama. Seseorang, kalau sudah disinggung agama maka spontanitas akan tersinggung."

Harmonis
Bila ditengok sebelum rusuh, kehidupan beragama di Poso sangatlah harmonis. Seorang tokoh Muslim dari Kecamatan Lage, Ustad Ramang Bima menuturkan eratnya hubungan antarumat beragama, khususnya Muslim Nasrani di wilayahnya.

Ustad Ramang Bima: "Memang sebelum konflik itu Poso itu seperti saudara kandung, antara Kristen, Islam maupun Hindu. Kristen dan Islam disini sudah satu rumpun. Ada keluarga Islam kawin dengan keluarga Kristen, juga sebaliknya."

Tokoh Kristen di Lage, Pendeta Santule mengenang indahnya kebersamaan kedua umat sebelum daerah itu dilanda tragedi.

Pendeta Santule: "Poso yang dulu itu saya kagum ketika saya di selatan di Mangku Tangan. mereka mengatakan coba kalau selatan ini seperti Poso. Dulu itu barang apa yang ketinggalan tidak akan hilang. Kita jalan kaki kemana saja tengah malam tengah hari subuh sembarang waktu. Kita tidak apa-apa. Kita tidur di rompong. Sekarang siapa orang kristen yang tidur di Rompong. Dulu itu, hubungan yang baik. O indah sekali poso pad asaat itu. Tapi sekaerang kalau berjumpa orang kamu dari mana? dari Poso ngeri."

Peristiwa 1998
Pada saat Poso hendak melewatkan akhir tahun 1998, terjadi peristiwa yang tidak disangka-sangka. Perkelahian dua pemuda beda agama, ternyata dengan mudah menyulut perkelahian antar kampung Islam dan Kristen. Saling serang terjadi, sampai melibatkan kalangan luar Poso, serta kelompok-kelompok garis keras atau radikal.

Dari akhir tahun 1998 hingga 2003, Poso tidak pernah aman lagi dari kekerasan kelompok yang mengatasnamakan agama. Sulit membayangkan, komunitas Islam Kristen di Poso yang dahulu begitu akrab, begitu mudah berbalik menjadi musuh. Bila tidak ada penyulut, siapa gerangan warga Poso yang mau rumahnya dibakar, tokonya dijarah dan sanak keluarganya terkorbankan?

Terbelah
Kelompok agama seperti terbelah. Sebagian besar warga Muslim mengungsi ke daerah bermayoritas muslim, sedangkan warga Kristen mencari aman ke daerah Kristen. Aparat Brimob terpaksa mengerahkan pasukan guna mengamankan wilayah yang dihuni komunitas agama berbeda.

Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki hubungan antar agama di Poso. Termasuk melalui tempat-tempat ibadah, hingga deklarasi Malino. Baru delapan tahun setelah Poso diporak-porandakan konflik, hubungan beragama kini mulai pulih kembali.

Sadar
Baru sekarang, warga Poso sadar konflik bukanlah bagian kehidupan mereka. Kekerasan membuat mereka trauma dan menderita. Inilah saatnya memulihkan semua yang telah hilang akibat pertikaian bertahun-tahun. Termasuk hubungan antarumat beragama yang sempat terganggu.

Pada tahun 2000, kerusuhan merembet ke desa Toyado, Kecamatan Lage. Ratusan rumah hancur dan banyak orang jadi korban. Ribuan mengungsi. Menariknya hubungan agama tetap harmonis.

Di Kecamatan Lage, terdapat beberapa tokoh agama yang tanpa kenal lelah berupaya agar hubungan antar umat beragama tetap baik. Di antaranya Ustad Ramang Bima dan Pendeta Santule.

Mengapa bisa terjadi?
Pendeta Santule bertutur, di tengah kerusuhan, warga justru bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi.

Pendeta Santule: "Ketika terjadi konflik mereke berbenturan. nah kalau ditanya kok bisa. nah mereka juga bingung. Padahal mereka juga itu bersaudara. Sekolah bersama-sama, bahkan ada anak-anak itu diasuh dan dibesarkan oleh warga kristen. Ada itu Ada juga yang saudara sesusu antara Islam dan Kristen. Saya dengan Haji Magi, di Poso, itu kakak saya."

Pada saat kerusuhan melanda Kecamatan Lage tahun 2000, umat beragama memang terpisah karena mengungsi. Tetapi, menurut Ustad Ramang, tidak ada dendam di kalangan mereka.

Ustad Ramang: "Di Desa Toyado, ada satu dusun yang mayoritas Kristen, dan satu dusun mayoritas Islam. Kami berupaya mengunjungi mereka di tempat pengungsian. Kami punya harta yang tertinggal di sini, mereka menyelamatkan, dan setelah suasana membaik mereka mengembalikan kepada kami."

Berdampingan kembali
Setelah itu, Ustad Ramang Bima dan Pendeta Santule menjadi penghubung agar kedua umat berdampingan kembali. Ustad Ramang mengajak Pendeta Santule mendatangi pengungsian Muslim, sedangkan Pendeta Santule membawa Ustad Ramang menuju pengungsian Kristen.

Pendeta Santule: "Untuk di Kecamatan Lage, saya dengan Ustad Ramang, saya bawa Ustad Ramang ke Massane, saya perkenalkan, "ini ustad di Toyado." Untuk menunjukkan bahwa ini bukan musuh. Islam bukan musuh, Kristen bukan musuh. Sering kami jalan-jalan. Waktu hari raya Lebaran, saya bawa warga Massane ke rumahnya ustad Ramang, mereka takut, "apa tidak apa-apa?" ya tidak apa-apa. Itu untuk menunjukkan, kami pemimpin agama, saya pendeta, dia ustad ternyata bisa hidup berdampingan."

Hasilnya, warga setempat mengakui hubungan antar umat di Kecamatan Lage cepat pulih kembali. Desa-desa di Kecamatan Lage bahkan lebih maju lagi dalam menunjukkan betapa harmonisnya hubungan dua agama. Ustad Ramang menceritakan, setiap ada kegiatan untuk merayakan hari besar agama, panitianya selalu beranggotakan wakil Islam Kristen.

Hubungan saudara
Ustad Ramang: "Selama dua tahun ini, untuk peringatan hari-hari keagamaan panitianya itu ada dua komunitas. Kegiatan Natal dan Tahun Baru, saya dua kali jadi panitia. Kalau untuk halal-bi halal, dari komunitas Kristen juga jadi panitia."

Keduanya bahkan erat berhubungan seperti saudara kandung, dan menjadi contoh keakraban dua orang dengan keyakinan berbeda.

Pandangan Pendeta Santule soal Ustad Ramang
"Kami merasa seperti saudara. Pak Ustad Ramang misalnya, datang ke sini. "Aduh saya lapar, saya mau makan. Saya mau minum kopi." Istri saya langsung bikin. Begitu juga saya ketika ke rumah Pak Ustad Ramang, "Aduh saya mau minum air putih," dan lain-lain. Jadi tidak ada jarak. Tapi betul-betul tulus, tidak ada kepura-puraan."

Sebelum deklarasi Malino tahun 2001, kedua tokoh sudah jauh-jauh hari mengupayakan rujuk antarumat di desa-desa mereka. Dan itu sudah terjadi. (Liputan KBR 68H)

SUMBER: ranesi.nl
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com

0 komentar: