Dalam suatu operasi atau kegiatan kepolisian, biasa dikenal fase analisis dan evaluasi, atau fase ketika kepolisian mengadakan pengenalan atau orientasi terkait dengan masalah yang akan ditangani sebelum kemudian diputuskan langkah atau langkah apa yang akan diambil.
Terkait dengan konflik berkepanjangan di Poso, selaku obyek operasi atau kegiatan kepolisian, harus diasumsikan fase analisis dan evaluasi itu tentunya telah dilalui. Dengan kata lain, kepolisian seyogianya telah mengetahui inti masalah dan, selanjutnya, sudah bisa melakukan langkah-langkah kepolisian yang dipandang perlu.
Tapi ada kesan yang muncul di masyarakat, polisi terlihat tidak berbuat, masih sibuk menganalisis terus. Akibatnya, Kepolisian RI pula yang akhirnya disalahkan ketika aneka kekerasan di Poso terus berlangsung.
Substansi dan pelaku
Suatu hal yang menjadikan konflik Poso menarik adalah bahwa sejauh ini substansi konflik serta pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak pernah dinyatakan dengan tegas.
Apakah ini konflik horizontal antaragama? Konflik vertikal antara pemerintah dan kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI? Konflik internal antarsesama pemeluk agama terkait dengan pandangan tertentu? Atau jangan-jangan ini hanya konflik yang berkaitan dengan motif ekonomi di Sulawesi Tengah, yang diketahui memiliki kandungan tambang yang kaya?
Perihal kenapa tidak dinyatakan dengan tegas juga terdapat dua kemungkinan. Pertama, bahwa pihak penanggung jawab keamanan memang belum bisa menetapkan nature atau sifat konflik. Atau, kemungkinan kedua, ada strategi tertentu di balik tidak dinyatakannya hal tersebut.
Berkenaan dengan hal itu, pihak-pihak yang terlibat konflik pun tidak juga di-disclose identitasnya. Bayangkan, sampai hari ini pun masih kita lihat penyebutan yang amat umum, seperti “kelompok muslim” atau “kelompok Kristen”. Atau penyebutan simbolis tentang “orang-orang tak dikenal” maupun “teroris” serta “gerombolan terlatih”.
Seperti juga substansi konflik yang tidak dijelaskan secara gamblang, ada dua kemungkinan terkait dengan tidak disebutkannya pihak-pihak yang terlibat konflik. Pertama, kepolisian memang benar-benar tidak tahu pelaku, dari penembakan, pemenggalan, pengeboman hingga penyerangan aparat. Hal ini saya ragukan. Kedua, pelaku (atau kelompok pelaku) sebenarnya sudah diketahui tapi terdapat strategi tertentu untuk tidak menyebarluaskannya.
Calculative policing
Dengan asumsi bahwa kepolisian memang sudah dapat melakukan analisis dan evaluasi terkait dengan substansi konflik sekaligus mengetahui (kelompok) pelaku tapi tidak mengumumkannya demi pertimbangan strategis, memang menjadikan kepolisian terlihat di bawah angin terus, selalu berada di belakang peristiwa, dan baru reaktif pada saat telah ada kejadian.
Secara teoretis, strategi itu sebenarnya bisa dibenarkan. Itulah yang disebut calculative policing (tindakan kepolisian yang memperhitungkan banyak hal), yakni suatu kegiatan yang dipilih karena diperkirakan akan menyelesaikan masalah tanpa membawa “biaya” yang besar, baik berupa kerugian maupun korban. Singkatnya, strategi ini adalah tentang bagaimana mengambil ikan tanpa menjadikan air kolam keruh.
Dari sisi lain, tindakan yang “berhitung” itu tampaknya sengaja diambil karena, mungkin saja, memang sulit bagi kita semua menyebutkan substansi konflik serta pelaku konflik di Poso semudah kita menyebutkan, katakanlah, konflik Gerakan Aceh Merdeka melawan Tentara Nasional Indonesia/Polri dulu. Ada kemungkinan semua alternatif substansi yang disebut di atas terdapat dalam konteks konflik Poso. Juga semua alternatif pelaku yang disebut di atas, mungkin saja ditemui di Poso.
Belum lagi bila ditambah dengan sinyalemen bahwa apa yang terjadi di Poso sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain, ada kaitannya dengan apa yang terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia. Bila demikian, memang lebih strategis untuk bekerja dalam diam, bukan?
Dalam kaitan “bekerja dalam diam” itu, menarik untuk mengetahui apa kalkulasi kepolisian dalam hal ini. Apa langkah mereka selanjutnya? Kapan para pelaku mulai ditangkapi jika mereka sebenarnya berasal dari kelompok yang sama? Bagaimana rentang waktu atau timeframe-nya?
Berkaitan dengan masalah waktu, memang seyogianya tidak terlalu lama, mengingat konflik Poso sudah amat berkepanjangan. Situasi never ending story ini perlu dihentikan sehingga Polri tidak dituduh sibuk berkalkulasi terus. Dengan demikian, calculative policing perlu disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu problem-solving policing (kegiatan kepolisian yang menyelesaikan masalah).
Defensive policing
Terdapat pula teori lain untuk memahami kiprah kepolisian di Poso, yakni bahwa Polri tengah melakukan strategi bertahan atau defensive policing. Kegiatan kepolisian ini pada dasarnya suatu varian ekstrem dari calculative policing, khususnya ketika terdapat berbagai kondisi yang tidak atau belum memungkinkan Polri bertindak lebih jauh, misalnya untuk melakukan kegiatan represif, seperti penangkapan.
Maka, yang sementara ini sibuk dilakukan kepolisian adalah berjaga-jaga di berbagai tempat yang dianggap rawan serta berpatroli. Kalau dilakukan sweeping atau razia, lebih dalam rangka agar tidak terjadi ofensif dari pihak pengacau, bukan sebagai tindakan ofensif kepolisian itu sendiri. Turunnya Brigade Mobil ke Poso juga dalam rangka bersiaga untuk menyekat pergerakan anggota masyarakat apabila sudah mengarah ke arah bentrok atau kerusuhan massa. Diduga kepolisian setempat juga sibuk melakukan pendataan dan pengambilan keterangan yang memiliki kekuatan hukum agar dapat dipergunakan sebagai dasar guna mengimplikasi atau menjerat para dalang konflik di daerah ini.
Masalahnya, mengingat obyek atau kawasan yang harus dijaga banyak dan luas sekali, maka selalu mungkin timbul situasi kecolongan (saat insiden terjadi padahal ada pengamanan). Atau situasi ketika orang tertentu atau tempat tertentu tidak terjaga sama sekali. Menurut saya, itulah cara terbaik memahami mengapa terjadi banyak sekali gangguan keamanan di Poso belakangan ini.
Ada pertanyaan: mengapa harus defensif? Apakah karena kekuatan dari pihak pengganggu keamanan besar sekali? Pada kenyataannya, tidak demikian. Untuk diingat, bahwa dalam rangka defensif sekalipun, apalagi untuk ofensif, kekuatan harus lebih besar dari pihak “lawan”. Dalam konteks Poso, kalau mau, kepolisian tentu saja dapat dengan mudah terus menambah personel. Tapi policing atau perpolisian bukan sekadar jumlah personel. Policing adalah kombinasi seluruh hak dan kewenangan kepolisian dalam rangka mencapai law and order (atau ketertiban masyarakat). Defensive policing dilakukan apabila seluruh hak dan kewenangan tadi dengan sengaja tidak dipergunakan, antara lain karena diperkirakan hanya dengan cara itulah kondisi law and order di masyarakat Poso akan terjadi. Di sinilah titik temu dengan yang tadi dikatakan dengan calculative policing.
Kedatangan pasukan BKO Brimob pada dasarnya juga sejalan dengan strategi defensif tersebut, yakni untuk memperkuat masyarakat. Dan bukan sebagai backup Polri untuk melakukan kegiatan represif berdasarkan hukum. Saya menduga, penggantian tiba-tiba Brigadir Jenderal Polisi Drs Oegroseno selaku Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu adalah dalam rangka mempertahankan strategi defensive policing tadi.
Walaupun sering kali cukup melelahkan (dan juga menyakitkan) bagi pihak yang melakukan strategi bertahan tersebut, dalam hal ini kepolisian, sebenarnya strategi perpolisian ini baik dari sudut pengembangan masyarakat sipil. Dengan kepolisian (serta berbagai pranata keamanan pemilik kewenangan represif lainnya, seperti TNI) mundur dan amat membatasi diri dari wilayah publik (public sphere), masyarakat diharapkan dapat memperkuat kapasitas masyarakat sipilnya untuk mengorganisasi diri, menata lingkungan dan masyarakat, serta menjaga gerak-langkah untuk tidak saling mengagresi satu sama lain.
Tapi, ketika kepolisian sudah membatasi diri, sedangkan yang muncul di masyarakat adalah situasi chaotic ketika terjadi situasi, katakanlah saling mengagresi antarkelompok, pada titik inilah kepolisian perlu berpikir ulang. Kesan saya, itulah yang terjadi di Poso yang, sebagai contoh, niat untuk hidup damai berdampingan antarkelompok di masyarakat kerap dilindas dan kekerasan bukannya semakin berkurang. Dalam kaitan itu, defensive policing kemungkinan besar perlu ditinggalkan, dan masuk pada varian induknya, yakni calculative policing.
Kendali di kepolisian
Mengapa tulisan ini mengambil perspektif kepolisian, tentunya berdasarkan suatu pemahaman bahwa kepolisianlah yang sepenuhnya menjadi pemegang kendali atau konduktor dalam suatu orkes, terkait dengan cara apa dan kapan konflik Poso akan dapat diselesaikan. Agak berbeda dengan konflik Aceh, misalnya, dengan TNI juga memainkan peranan, kepolisian praktis memainkan peran utama di Poso. Akibatnya, kilah yang biasanya tersedia guna mengantisipasi kegagalan atau ketidakberhasilan tugas agak sulit dicari di Poso.
Hal ini saya anggap perlu dicamkan oleh kepolisian agar tidak hanya serius dalam rangka menangani pelaku-pelaku konflik langsung, tapi juga dalam rangka berurusan dengan faktor-faktor samping atau yang secara tidak langsung mempengaruhi konflik. Untuk itu, berkenaan dengan pengerahan pasukan Brimob, gegana, intelijen, dan satuan antiteror ke Poso, perlu juga diikuti dengan kegiatan pembentukan opini, lobi, serta dengar pendapat dengan para penentu kebijakan. Agar mereka sepenuhnya mendukung langkah kepolisian saat hendak memutuskan langkah terakhir calculative policing, yakni melakukan penangkapan dan penyidikan terhadap pihak-pihak yang diduga berada di belakang sejumlah insiden di Poso. (Adrianus Meliala, Senior Governance Advisor - Partnership for Governance Reform in Indonesia).
SUMBER: kemitraan.or.id
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar