Konflik di Poso kembali menyeruak, setelah tokoh DPO utama Muhammad Basri ditangkap. Aktivitas penyisiran dan penggerebekan masih berlangsung. Kapolri sendiri mengganggap aparat keamanan perlu bertahan di Poso meski beberapa SSK sudah ditarik.
Penulis akan memberikan analisis perspektif baru tentang apa yang disebut dengan perdamaian. Ada sebuah perdamaian yang kemudian menjadi kultur bersama untuk merawat dan menjaga perdamaian tersebut sebagai mekanisme terbaik bagi terciptanya tertib sosial dari pihak-pihak yang selama ini berkonflik. Inilah yang kemudian disebut sebagai perdamaian positif.
Perdamaian positif cenderung berlangsung secara alamiah, dan proses penyelesaian lebih banyak menggunakan instrumen kultural daripada kebijakan struktural politik yang interventif. Apakah dalam kasus Poso pascadeklarasi Malino sudah tercipta perdamaian positif? Ini pertanyaan dasar dari tulisan ini.
Kasus Poso merupakan kasus yang unik, sebuah wilayah yang notabene berada di daerah pegunungan yang cenderung memiliki watak harmonis dibandingkan dengan daerah pantai yang cenderung memiliki watak suka berkonflik. Kalaupun terjadi konflik di daerah agraris, ada kecenderungan performa konfliknya lebih sebagai gejala konflik laten dibandingkan konflik manifes.
Selaras dengan pandangan Montessqieu yang menyatakan bahwa setting lingkungan cenderung mempengaruhi cara-cara berkonflik. Kekerasan dan konflik di Poso selama ini telah menjadi kekerasan yang manifes dan massif, yang berarti telah terjadi mobilisasi konflik oleh pihak-pihak yang berkonflik, baik dari unsur internal dan eksternal di Poso.
Ada kecenderungan telah terjadi nasionalisasi konflik Poso, bahkan internasionalisasi konflik Poso sehingga Vatikan sampai terlibat secara intensif untuk melakukan diplomasi agar Tibo dan kawan-kawan (dkk) tidak dieksekusi mati. Tidak hanya itu, konflik Poso telah masuk dalam daftar armed conflict yang senantiasa dikaitkan dengan jaringan terorisme internasional. Sehingga konflik Poso menjadi sangat rumit dan multiwajah. Yang pada akhirnya menyebabkan proses resolusi dan rekonsiliasi konflik senantiasa direcoki oleh berbagai kepentingan.
Fogging DPO
Dalam pengamatan penulis terhadap kasus konflik di Poso, Deklarasi Malino, hanya mampu menghantarkan Poso ke dalam perdamaian negatif. Sebuah kondisi di mana tertib sosial dan politik di Poso terjadi karena massifnya keterlibatan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah dengan lebih melibatkan kekuatan militer.
Hadirnya tentara dan polisi dalam batas tertentu memang mampu menciptakan packing order, sehingga setiap bentuk kerusuhan-kerusuhan kecil, aktor-aktornya ditangkapi. Ibarat dalam proses pemberantasan nyamuk, negative peace hanya menangkapi nyamuk-nyamuk yang tampak menganggu. Namun sarang dan tempat berseminya nyamuk belum tersentuh secara baik. Sehingga adagium klasik, mati satu tumbuh seribu, sangat tepat untuk menggambarkan betapa rentannya kondisi perdamaian di Poso.
Pengiriman tentara dan aparat militer ke Poso akhir-akhir ini layaknya melakukan fogging terhadap mereka yang dianggap perusuh di Poso agar mereka sesak napas dan keluar. Namun fogging juga akan membuat iritasi bagi masyarakat yang sebenarnya bukan sebagai nyamuk yang harus diberantas. Banyak korban sipil, dan salah tangkap terjadi dalam proses fogging tersebut.
Negative peace ini akan berbahaya jika sudah diyakini oleh para pengambil keputusan di Jakarta sebagai positive peace. Sebab dalam batas tertentu, aktivitas pengiriman tentara atau aparat militer di samping sangat mahal secara ekonomis juga memiliki dampak biaya sosial yang sangat tinggi. Sangat mungkin, langkah itu akan memunculkan letusan konflik di Poso yang sangat besar manakala fogging dihentikan.
Segitiga keadilan
Dalam upaya menciptakan positive peace, seorang Morton Deutsch mengembangkan sebuah model segitiga keadilan guna merancang sebuah kondisi yang saling ketergantungan satu sama lain, dengan dikembangkan sebuah budaya fairness. Setidaknya ada 3 unsur yang membentuk segitiga keadilan: equity, equality, dan needs. Equity lebih merujuk kepada proses distribusi sumber-sumber konflik kepada masyarakat secara proporsional sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas yang dimiliki. Artinya pemerintah harus secara cerdas terlibat dalam penciptaan equity ini.
Jika Jusuf Kalla menyatakan bahwa konflik Poso akhir-akhir ini justru digerakan oleh para PNS atau kalangan intelektual, maka sebenarnya mereka sedang mendesak penciptaan equity yang balance dan elegan di Poso. Pemerintah harus proaktif dalam menciptakan equity ini, sehingga semata-mata tidak ditentukan oleh kekuatan pasar dari yang sedang berkonflik justru bisa dipelintir oleh kalangan yang memang diuntungkan dengan adanya konflik.
Sedangkan equality, lebih merujuk kepada perlakuan atau pemberian barang, jasa, kesempatan politik, dan ekonomi dengan mengedepankan aspek kualitas dan kuantitasnya. Equality ini memang fenomena kasat mata, sehingga pemerintah harus lebih bijak dalam konteks pembuatan kebijakan terkait dengan distribusi barang dan jasa tersebut.
Sumber-sumber politik dan ekonomi yang selama ini diyakini terbatas oleh kalangan yang berkonflik, harus didesain oleh pemerintah bahwa aset tersebut masih bisa diperluas, sehingga tidak menimbulkan perebutan aset secara massif. Penciptaan kebijakan yang memperluas aset ekonomi dan politik di Poso diharapkan akan menghasilkan lahan perebutan kekuasaan di Poso menjadi tidak sempit, sehingga gesekan kecil tidak mudah dijadikan bara dalam konflik.
Yang terakhir adalah needs. Konflik memang tidak bisa dilepaskan dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan. Pendekatan untuk penciptaan kesejahteraan yang komprehensif harus sedemikian rupa ditingkatkan. Bahkan dalam batas tertentu, pemerintah bisa menfokuskan daerah konflik sebagai daerah tertinggal sehingga empowering di daerah konflik harus dilakukan sungguh-sungguh dan hati-hati. (Surwandono, Dosen Fisipol UMY dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UGM).
SUMBER: Republika
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar