Jalan Berliku Merajut Damai Di Poso

Diposting oleh Forum Poso Bersatu

Kekerasan seakan tak pernah lepas dari Bumi Sintuwu Maroso. Terhitung sejak 24 Desember 1998 hingga 22 Januari 2007, kekerasan terus meronai wajah Poso. Kekerasan itu seakan melumerkan sebuah harapan dan mimpi tentang sebuah negeri dengan kearifannya bertajuk Sintuwu Maroso. Pertanyaannya yang belum terjawab sampai kini adalah, mengapa kekerasan itu tak pernah lepas dari wajah Poso ? Padahal sejumlah deklarasi telah diteken, namun hasil, adalah tetap kekerasan, kematian, luka dan duka.

Jauh sebelum Deklarasi Malino disepakati pada penghujung tahun 2002, sebuah upaya membangun resolusi konflik di Poso sudah dilakukan, tepatnya pada 12 Juni 2000. Atas prakarsa Pemerintah Kabupaten Poso bersama Polri dan TNI, digagas sebuah pertemuan dengan para tokoh Islam dan Kristen di Balai Pertemuan Torulembah, di rumah kediaman Bupati Poso. Kapolres Poso itu, AKBP Drs. Jasman Baso Opu membacakan hasil kesepakatan perjanjian perdamaian yang ditanda tangani oleh unsur-unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Poso dan para tokoh-tokoh agama. Point penting dari perjanjian itu, adannya kesepakatan batas waktu kepada kedua kelompok yang bertikai untuk menyerahkan senjata maupun peralatan ”perang” yang digunakan bertikai kepada pihak keamanan. Batas waktu penyerahan senjata disepakati tanggal 12 s/d 15 Juni 2000. Kesepakatan lainnya adalah, bila batas waktu itu tidak diindahkan, pihak keamanan akan mengambil tindakan tegas.

Apakah isi perjanjian itu memberi memberi dampak yang signifikan untuk sebuah bangunan perdamaian yang permanen bagi masyarakat Poso? Jawabannya adalah tidak, senjata terus menyalak dan bom meledak disana sini. Dan tindakan tegaspun tak terlihat ketika itu. Poso kembali ke medan “perang” antar masyarakat sipil.

Kisah berikut masih cerita tentang sebuah jalan untuk menuju resolusi konflik Poso yang damai.. Di kota dingin Tentena, Kecamatan Pamona Utara, selama dua hari, tepatnya 13 dan 14 Agustus 2000, berlangsung pertemuan regional para gubernur se Sulawesi. Pertemuan rutin para gubernur itu membahas pembangunan regional di sulawesi . Karena giliran Sulawesi Tengah menjadi tuan rumah, maka focus pertemuan pada persoalan penyelesaian Konflik Poso.

Para gubernur se Sulawesi ketika itu, bersepakat untuk menjaga agar konflik Poso tidak melebar di luar Propinsi Sulawesi Tengah. Ketika itu lahir pula sebuah kesepakatan yang cukup menakjubkan, siapapun yang memulai konflik baru, akan menjadi musuh bersama rakyat Sulawesi. Namun kesepakatan yang diteken oleh para gubernur sulawesi dan beberapa tokoh masyarakat sulawesi yang hadir di Tentena, tetap tak memberi arti apa-apa untuk terbangunnya sebuah ”proyek” rekonsiliasi di Kabupaten Poso.

Mengapa pertemuan itu menjadi tidak efektif untuk meredam konflik di Poso? Jawabannya lagi-lagi karena karena tokoh-tokoh publik yang dilibatkan bukanlah aktor lapangan yang terlibat langsung dalam persentuhan konflik antar warga di Poso. Pasca pertemuan Tentena itu tetap saja melahirkan pertikaian-pertikaian susulan. Ketika itupun tak ada identifikasi siapa yang memulai menabuh genderang “perang” untuk dijadikan musuh bersama rakyat Sulawesi.

Pertanyaan berikutnya adalah, masih adakah kesepakatan diluar kesepakatan para gubernur Sulawesi dan tokoh-tokoh masyarakat pada 13 dan 14 Agustus 2000 ? Jawabannya yah! masih ada yang lain.

Dua belas hari setelah “Deklarasi Tentena” itu diteken para gubernur Sulawesi dan tokoh-tokoh masyarakat, tepatnya 22 Agustus 2000, diteras depan Kantor Bupati Poso, pada sore yang teduh, disaksikan Presiden Abdulrahman Wahid ketika itu, empat belas tokoh adat kembali menggelar ikrar dan janji untuk meredam konflik berdarah di Kabupaten Poso.

Pemerintah ketika itu sangat yakin, formula adat perlu dikedepankan untuk meredam kemarahan dua pihak yang bertikai. Empat belas tokoh adat itu melahirkan satu resolusi berupa kesepatakan adat yang dinamakan Rujuk Sintuwu Maroso.

Deklarasi adat itu dibacakan Pendeta Tobonda dalam Bahasa Daerah Pamona, kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dihadapan sejumlah petinggi penting di republik ini ketika itu. Mulai darii Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid, Panglima TNI. Widodo AS, Menteri Agama Tolchah Hasan, Menteri Dalam Negeri Suryadi, Kapolri Jendral Rusdihardjo, dan para Gubernur se Sulawesi. Kesepakatan Rujuk Sintuwu Maroso itu kemudian diserahkan kepada Presiden Wahid dengan tepukan dan siutan disana sini.

Yang agak lain ketika itu, nama-nama dewan adat yang meneken Rujuk Sintuwu Maroso itu beberapa diantaranya terasa sangat asing dikuping warga. Sebutlah misalnya Dewan Adat Ampana Kota. Dewan Adat Ampana Tete. Dewan Adat Tojo. Dewan Adat Ulubongka. Dewan Adat Una-Una Dewan adat Lore Utara. Majelis Kebudayaan Poso. Dewan Adat Pamona Utara, Dewan Adat Pamona Selatan. Dewan Adat Lore Selatan. Dewan Adat Poso Pesisir. Juga ada Dewan Adat Poso Kota dan Dewan Adat Lage.

Mungkin karena nama-nama Dewan Adat terasa aneh dikuping penduduk Poso ketika itu, akibatnya ratusan massa yang berjubel diluar halaman Kantor Bupati Poso mensoraki dengan beragam bentuk gaya dan suit-siutan yang merusak suasana. Suitan itu juga terbaca sebagai sebuah indikasi, masih rapuhnya kohesi sosial masyarakt Poso, karena beberapa nama yang mengatasnamakan dewan adat itu akar-akar kulturalnya kurang jelas dibasis massa.

Gagasan Rujuk Sintuwu Maroso saat itu adalah sebuah formula yang didesain sedemikian rupa agar terkesan warga Poso akan berdamai dan disaksikan langsung Presiden Gus Dur. Soal ongkos Rujuk Sintuwu Maroso, jangan tanya berapa harganya. Pasti mahal, apalagi biaya mendatangkan seorang Presiden di wialayah konflik.

Apakah setelah dibacakan Rujuk Sintuwu Maroso itu warga Poso kembali bisa menari dalam lingkaran modero, sebuah tarian tardisonal yang teramat bersahabat. Jawabannya sama dengan pertanyaan sebelumnya. Pertikaian dan pembunuhan, juga pembakaran rumah-rumah warga, terus saja berlangsung disekitar pinggiran kota Poso termasuk beberapa desa di Kabupaten Morowali, bekas wilayah Kabupaten Poso.

Catatan lainnya untuk merajut damai Poso kali dari kantor dewan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Pada tanggal 16 – 17 Juli 2001, lembaga DPRD Sulteng menfasilitasi pertemuan dengan menggelar dengar pendapat dengan para tokoh-tokoh agama, baik Islam maupun Kristen, termasuk Tim Rekonsiliasi bentukan Gubernur Aminudin Ponulele yang ketika masih dipanggung kekuasaan. Tim Rekonsialisasi dipimpin langsung Kolonel Gumyadi. Dari pihak Islam hadir Ketua Forum Perjuangan Umat Islam Poso Haji Adnan Arsal. Dari pihak Kristen terlihat Almarhun Pendeta Irianto Kongkoli, dan beberapa tokoh agama lainnya. Hasil dari forum dengar pendapat itu hanyalah sebuah upaya resolusi tanpa solusi. Yang terjadi perdebatan sengit yang tak berujung.

Kemudian, pada penghujung tahun, tepatnya 20 Desember 2002, Deklarasi Malino diteken di sebuah kawasan sejuk di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Namun deklarasi itu seakan kurang mendapat respon secara merata di selurah kawasan Kabupaten Poso. Sepuluh point dari deklarasi itu adalah sebuah upaya maksimal yang bisa di hasilkan, namun kurang memiliki daya pesona yang bisa merekatkan warga. Nasib dari deklarasi Malino itu nyaris sama dengan sejumlah deklarasi yang telah diteken berkali-kali. Deklarasi itu seakan tak memiliki orientasi dan daya implementasi di Kabupaten Poso.

Pengamat masalah sosial dari Universitas Tadulako Palu, Drs. Irwan Waris, Msi melihat, kurangnya daya implementasi dari Deklarasi Malino itu karena pemerintah membentuk kelompok kerja (Pokja) yang diisi para deklarator Malino dan para pihak lainnya justru tidak memiliki basis kultural di Poso, karena mereka orang-orang Palu. Juga kelompok kerja itu urai Irwan, bukan representasi dari dua kelompok yang bertikai, tapi beberapa diantaranya adalah representasi tokoh pilihan pemerintah.

Dari fakta seperti itu hingga hasil Deklarasi Malino itu, sampai kini ia belum sepenuhnya menjadi landasan bersama dalam membangun komunikasi sosial yang efektif. Buktinya kekerasan di Kabupaten Poso tak pernah lenyap, relasi antar warga belum sepenuhnya kembali ketitik nol seperti situasi Poso sebelum 24 Desember 1998. Belum lagi soal titik krusial yang terbiarkan selama ini, yakni belum pulihnya hak-hak keperdataan warga Poso, baik Islam maupun Kristen. Padahal soal hak-hak keperdataan itu menjadi salah satu poin dari sembilan poin lainnya dari deklarasi malino. Pada point tujuh dari deklarasi itu tertulis, “Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung”. Point ini tak pernah disentuh secara serius hinggi kini. Tak tergarapnya hak-hak keperdataan warga Poso, sama nilainya membiarkan salah satu dari akar masalah konflik terbiarkan begitu saja sampai larut.

Sejumlah deklarasi telah diteken, juga sejumlah forum dialog dengan para elit social dan elit-elit agama juga telah digelar, namun hasilnya belum menenteramkan warga Poso dari ancaman kekerasan yang sumbernya terkadang tak terduga datangnya. Dialog penting, juga menangkap DPO yang dipandang sebagai pemicu kekerasan juga penting. Namun tanpa upaya mencari akar masalah, sama artinya membiarkan masalah tak pernah selesai. Belum lagi soal dampak ekonomi warga akibat konflik warga itu membuat ribuan warga Poso tiba-tiba menjadi miskin, sementara recovery ekonomi tak jelas formulasi penyelesainnya.

Dari dulu, baik sebelum dan sesudah Deklarasi Malino diteken, respon pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflik horizontal di Poso terlihat sangat reaktif. Solusi yang disodorkanpun juga sangat artifisial. Pertanyaannya adalah mengapa demikian ? Dalam amatan Irwan Waris, apa yang dilakukan pemerintah selama ini dalam menyelesaikan konflik Poso justru lebih mengedepankan pendekatan keamanan. Aparat sipil dan para pemangku kepentingan dari komunitas sipil lainnya kata dosen sosiologi politik itu, justru kurang dilibatkan. Di era seperti sekarang harap Waris, kekuatan-kekuatan sipil harus makin dikedepankan. Karena pendekatan keamanan tanpa kendali, terkadang bisa berujung pada timbulnya kekerasan baru, yang justru potensial melanggenggkan konflik, akibat adanya amarah dari kelompok korban masyarakat sipil yang terkadang tidak mengerti persoalan.

Dalam kondisi tenang seperti sekarang ini di Poso, pemerintah tak boleh diam. Mestinya kata Irwan, pemerintah dan kelompok-kelompok sipil harus segera melakukan revitalisasi psikologi dan mendorog semangat kerja sama antar warga. hentikanlah metode pendekatan yang mirip pemadam kebakaran dalam menyelesaikan konflik Poso saran Irwan Waris.

Selama ini, respon pejabat publik di republik ini, bereaksi ketika bom meledak disana. Magnitude dan ”rating” Poso melejit disemua media massa. Setelah itu, kembali ketitik semula. Poso dibiarkan dan tak dihirau.

Sekarang ini, pemerintah dan aparat keamanan dalam menyelesaikan konflik Poso sedang fokus pada penangkapan sejumlah DPO Poso yang selama ini dituding menjadi biang kekerasan. Pemerintah seakan lupa, kalau masalah konflik Poso tak hanya berpusar pada persoalan perburuan dan penangkapan DPO itu. Seakan terlupakan, bahwa salah satu local point dari substnsi konflik Poso adalah, hilangnya rasa saling percaya (mutual trust) antar warga, juga dengan aparat kepolisian, termasuk terhadap wartawan yang terkadang dinilai kurang berimbang dalam memberitakan konflik Poso.

Mengapa rasa saling percaya itu masih sulit di bangun? Irwan Waris yang juga anggota kehormatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu itu melihat, rasa saling percaya tidak terbangun karena tidak adanya pihak yang bekerja untuk ”mencomblangi” para pihak yang bertikai. Pemerintah kata Irwan, seakan tak tau lagi harus melakukan apa. Yang dilakukan ungkap Dosen FISIP Universitas Tadulako itu adalah meredam kekerasan dengan cara kekerasan. Itulah yang terjadi pada aksi penyerbuan polisi pada 22 Januari 2007 lalu di kompleks Tanah Runtuh Poso, kontak tembak antara polisi dan kelompok sipil bersenjata hingga empat belas nyawa kembali melayang di bumi Sintuwu Maroso.

Padahal, tugas terbesar yang mestinya dikerjakan oleh pemerintah pusat dan Sulawesi Tengah, khususnya pemerintah kabupaten Poso adalah, merekatkan kembali rasa saling percaya (trust building) itu akibat gesekan sosial yang berdampak pada terjadinya disharmoni antar warga. Kalau ini belum tergarap secara serius, warga Poso yang multi etnik itu tak akan pernah menari dalam lingkaran modero yang bersahabat. (Penulis: jgbua) ***

SUMBER: ajipalu.wordpress.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com

0 komentar: