Zumrotin K. Susilo: Dimensi HAM Kasus Poso

Diposting oleh Forum Poso Bersatu

Tamu Perspektif Baru kali ini Zumrotin K. Susilo yang sudah saya kenal lama dan sangat dapat dipercaya apa dilakukan dan dikatakannya. Zumrotin sekarang Wakil Ketua Komnas HAM dan Ketua Tim penyelidikan kasus Poso. Jadi kita sekarang akan membicarakan mengenai kasus Poso, dimana banyak orang yang tidak mengetahui kasus sebenarnya. Beberapa minggu lalu saya melakukan percakapan mengenai kasus Poso di TV, dan kami mendapat perspektif tertentu dari acara itu dan bisa dilihat di www.perspektif.net.

Zumrotin menyatakan permasalahan di Poso hampir sama dengan Ambon yaitu diwarnai dengan konflik antar agama, tapi dibalik itu mungkin ada permasahan lain. Dia mengidentifikasi bahwa permasalahan yang terus timbul di Poso sampai sekarang ini karena ada sebagian masyarakat, yang dulunya adalah bagian korban, tidak mendapatkan penyelesaian hukum. Itu terkait kasus awal pada 2000 sampai 2003 dimana banyak keluarga mereka dibunuh. Kasus tersebut kemudian diselesaikan oleh deklarasi Malino yang dimotori oleh Jusuf Kalla. Jadi permasalahan Poso sampai saat ini terus terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap deklarasi Malino yang tidak diterapkan secara menyeluruh.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Zumrotin K. Susilo.

Bagaimana sebenarnya kasus Poso ini?

Seperti yang kita sudah tahu bahwa kasus Poso sudah berjalan hampir delapan tahun atau hampir sama dengan kasus Ambon. Permasalahannya hampir sama juga dengan Ambon, diwarnai dengan konflik antar agama, tapi dibalik itu mungkin ada permasahan lain. Saya ingin sampaikan juga bahwa Komnas HAM tidak memiliki tugas untuk menyelesaikan konflik, tapi Komnas HAM hanya memantau peristiwa Poso apakah ada pelanggaran HAM atau tidak.

Kita melihat ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh petugas ataupun masyarakat, seperti yang terjadi pada kasus 11 dan 22 Januari 2007. Kami mengindentifikasi semuanya. Saya sendiri turun ke lapangan setelah kasus Tanah Runtuh (peristiwa malam lebaran). Saya mengidentifikasi bahwa permasalahan yang terus timbul di Poso sampai sekarang ini karena ada sebagian masyarakat, yang dulunya adalah bagian korban, merasa tidak mendapat penyelesaian hukum. Itu terkait kasus awal pada 2000 sampai 2003 dimana banyak keluarga mereka dibunuh dan kemudian diselesaikan oleh deklarasi Malino yang dimotori oleh Jusuf Kalla. Satu lagi hasil identifikasi saya adalah kasus Poso terus terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap deklarasi Malino yang tidak diterapkan secara menyeluruh.

Jadi sewaktu Jusuf Kalla di TV mengatakan dia telah menyelesaikan masalah Poso pada tahun 2000 itu tidak sepenuhnya benar.

Dia memang menyelesaikan melalui deklarasi Malino. Dalam deklarasi Malino itu ada 10 poin. Pertama, hendaknya segera menghentikan konflik. Itu terpenuhi karena deklarasi itu dihadiri oleh tokoh-tokoh Nasrani dan Islam, kemudian mereka sepakat memberikan sosialisasi pada umatnya agar tidak terjadi konflik kembali. Poin pertama itu terpenuhi.

Poin kedua yang kemudian menjadi persoalan sampai saat ini. Poin ini menyatakan segala pelanggaran hukum harus ditindak. Artinya, siapa saja baik dari kaum Muslim ataupun Nasrani yang melakukan pelanggaran hukum baik itu pembunuhan, pengeboman, penculikan ataupun mutilasi harus diadili. Namun kemudian Jusuf Kalla, yang mungkin tanpa secara sadar, mengatakan hendaknya dikonsentrasikan pada sesudah Malino saja. Jadi artinya kasus sebelum itu tidak diproses hukum. Nah setelah itu saya melihat Polisi hanya memproses kasus Tibo. Kasus Tibo adalah salah satu kasus sebelum Malino. Namun dalam catatan saya, kasus sebelum Malino masih banyak yang belum diselesaikan. Misalnya, pembunuhan dan perkosaan di Malay, pembunuhan pegawai Pemda, lalu pembunuhan di Tentena.

Jadi memang ada beberapa kasus yang diproses tapi itu tidak seluruhnya. Ini yang kemudian menciptakan rasa ketidakadilan karena yang dikejar-kejar atau yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah orang yang melakukan pelanggaran hukum setelah Malino. Jadi yang tampil ke permukaan adalah penangkapan 29 DPO ini saja. Karena itu masyarakat yang keluarganya menjadi korban sebelum Malino merasakan adanya ketidak-adilan.

Apakah korban yang sebelum Malino itu merupakan lawan dari sesudah Malino?

Iya betul. Sebelum Malino itu korbannya adalah masyarakat Muslim dan jumlahnya cukup besar. Korban sesudah Malino adalah Kristiani. Jika dibandingkan maka jumlah korban Kristiani adalah 1/3 dari korban kelompok Muslim. Itu yang membuat ada rasa ketidakpuasan karena jumlah korban kelompok Muslim lebih banyak sementara proses hukum tidak berjalan seluruhnya. Ketidakpuasan tersebut menjadi perlawanan-perlawanan seperti yang terjadi saat ini, walaupun seharusnya tidak dilakukan dengan cara itu.

Jadi yang yang tidak puas adalah kelompok Islam, apakah di situ masuk kelompok radikal atau militan dan teroris international?

Sekali lagi, saya ini bukan intelejen. Tugas saya adalah memantau ada peristiwa pelanggaran HAM atau tidak. Tugas intelejenlah untuk mencari apakah ada Islam fundamentalis masuk ke sana atau tidak. Tapi dari wawancara saya dengan beberapa tokoh di sana, saya melihat memang mulai ada ajaran-ajaran yang radikal. Apakah itu karena dari orang luar masuk ke dalam atau lainnya, saya tidak tahu. Tapi yang jelas mulai ada radikalisme diantara mereka terutama di Kecamatan Poso Kota dan Poso Pesisir. Jadi diawali dengan rasa dendam dan tidak puas kemudian ada suntikan radikalisme di sana sehingga muncullah seperti yang terjadi di sana sekarang. Yang menghawatirkan saya adalah mulai ada ajaran bahwa darah lawan atau darah siapa saja yang tidak sepaham adalah halal. Ini menurut saya sudah menghawatirkan.

Apakah yang dipegang oleh kaum Muslim fundamentalis tersebut juga didukung oleh masyarakat Muslim yang tidak radikal?

Saya melihat setelah tanggal 22 Januari mulai ada kesadaran dari beberapa kelompok Muslim di Poso bahwa ini sesuatu yang membahayakan. Ada salah satu orang tua yang anaknya ikut masuk kelompok fundamentalis sangat kaget karena apa yang dilakukan anaknya tidak diketahui keluarganya. Saat mengetahui juga sangat kaget karena apa yang dipahami anaknya bahwa kalau bapaknya tidak sepakat dengan apa yang dipahami anaknya maka darah bapaknya juga halal.

Kalau dilihat secara sempit dan khusus serangan 22 Januari, menurut Komnas HAM, apakah di situ ada pelanggaran HAM atau tidak?

Saya melihat mulai dari Tanah Runtuh karena saya mengamati tiga peristiwa itu yaitu malam lebaran sampai 22 Januari. Ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat. Misalnya, pada saat Tanah Runtuh, saya menemukan data bahwa ada seorang petugas rumah sakit yang naik ambulan dan malam itu ditugaskan oleh rumah sakit untuk segera memberikan pertolongan untuk korban Tanah Runtuh tapi di tengah jalan ditahan Polisi dan dihajar di sana. Ini saya sampaikan juga kepada Kapolri dan data saya diakui oleh Kapolri,

Kalau menurut polisi, mengapa petugas itu ditahan?

Saya telah bertemu dengan korban dan menurut dia kesalahannya adalah karena dia berjenggot. Jadi walaupun sudah menyatakan bahwa dia petugas rumah sakit yang harus ke Tanah Runtuh karena ada korban yang kondisinya kritis, dokter jaga yang dihubungi polisi pun sudah membenarkan pernyataan petugas tersebut namun dia tetap tidak dilepaskan. Kepala Rumah Sakit kemudian berusaha menghubungi yang bersangkutan tetapi tidak bisa. Akhirnya, Kepala Rumah Sakit meminta bantuan TNI untuk melepaskan dia. Menurut saya, kondisi ini kurang baik karena menunjukan ada ketidakserasian antara kepolisian dan TNI karena yang ditahan kemudian ditolong TNI.

Kalau kita berbicara masalah HAM, apakah dalam serangan-serangan terakhir itu ada pelanggaran-pelanggaran HAM yang tidak perlu, maksudnya, kalau pikiran orang dalam menangkap teroris itu harus keras?

Tanggal 12 dan 22 Januari 2007 itu berbeda. Tanggal 12 memang penangkapan DPO. Komnas HAM mendukung penangkapan DPO karena memang orang dalam DPO ini melanggar hukum.

Jadi Komnas HAM setuju penangkapan DPO.

Setuju. DPO harus ditangkap dan diproses hukum. Ketika polisi memberi toleransi sampai lebih tiga bulan tidak menangkapnya, Komnas HAM juga sudah gemas mengapa tidak ditangkap-tangkap. Akhirnya, polisi melakukan penangkapan pada 11 Januari tapi dalam penangkapan DPO ini jangan sampai ada korban lainnya. Di situ memang ada korban tapi pada 11 Januari itu ada juga kesalahan masyarakat. Saat itu setelah pemakaman Ustad Riyan, masyarakat melakukan kekerasan dengan membunuh seorang polisi. Jadi kita melihat ada kesalahan yang dilakukan masyarakat dan ada juga kesalahan yang dilakukan oleh aparat.

Pada 22 Januari, menurut polisi, memang bukan penangkapan DPO namun lebih pada menghadapi masyarakat di satu desa yang sudah memiliki senjata. Jadi namanya operasi penangkapan terhadap masyarakat sipil bersenjata yang melakukan perlawanan. Tapi kalau kita amati secara keseluruhan dalam hal ini ada beberapa hak yang dilanggar. Lepas dari siapa yang melakukannya, tetap harus dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Dalam hal ini hak hidup sudah terlanggar karena ada masyarakat sipil yang terbunuh.

Poin mengenai masyarakat sipil oleh polisi disangkal. Menurut polisi, sipil kalau bersenjata bukan sipil lagi.

Yang terjadi pada 22 Januari memang sipil membawa senjata. Tapi pada 11 Januari ada sipil yang meninggal dan tidak membawa senjata. Untuk sipil membawa senjata, saya sepakat ada ketentuan tersendiri. Ada undang-undang tahun 1957 yang menyatakan bahwa masyarakat sipil tidak bersenjata. Tapi ada hak hidup dan hak rasa aman yang terlanggar. Penangkapan-penangkapan dan operasi-operasi yang seharusnya lebih mengedepankan intelejen tapi kurang dilakukan sehingga yang terjadi show force (unjuk kekuatan – red). Itu mengakibatkan masyarakat justru merasa tidak aman.

Kasus Poso secara keseluruhan termasuk diantaranya adalah pelanggaran hak keperdataan masyarakat. Banyak masyarakat yang setelah kasus Poso tidak berani datang ke tempat tinggalnya atau kebunnya sehingga hak keperdataannya hilang. Ini juga harus diperhatikan karena ratusan yang mengalami hal ini. Jadi ini terkait beberapa prinsip HAM yaitu hak hidup, hak rasa aman, hak bebas dari rasa ketakutan. Atas dasar itu Komnas HAM meminta kepolisian dalam melakukan operasi mengedepankan intelejen. Yang lainnya adalah kekerasan, kita juga menerima pengaduaan dari keluarga DPO yang tertangkap yang mengalami siksaan. Itu jelas tidak boleh terjadi.

Ketika Anda bertemu masyarakat, bagaimana kegundahan masyarakat? Apakah masyarakat sangat terpengaruh dan berpihak?

Pada awalnya, ini sebenarnya terkonsentrasi pada satu desa. Memang pada saat kami ke sana ada rasa ketakutan masyarakat, terutama ketika memberikan keterangan. Walaupun mereka tahu kami dari Komnas HAM mereka tidak percaya sepenuhnya. Tapi kemudian kami mewawancarai Adnan As'ar, seorang tokoh di Tanah Runtuh yang juga ikut dalam deklarasi Malino. Awalnya, dia diminta Kepolisian untuk menyampaikan kepada masyarakat di sana agar menyerahkan diri. Dia mendapat kesempatan itu dan menyerah tidak mampu melakukan itu. Setelah kami bisa mewawancari Adnan, satu persatu masyarakat bisa kami wawancarai memberikan kesaksiannya. Tapi perlu kami tegaskan di sini, Komnas HAM hanya mewawancarai saksi mata saja karena ini adalah penyelidikan dan ini baru pelanggaran HAM biasa. Kita mewawancarai saksi mata sebagai data primer, sedangkan untuk data sekunder seperti berita dari media massa atau orang yang mendengar saja semuanya hanya kita tampung.

Ini semua sekarang ditangani oleh polisi. Apakah ada perbedaan penanganan antara dulu ketika ditangani TNI dan sekarang oleh polisi?

Sebenarnya TNI adalah alat untuk pertahanan negara. Jadi kalau negara diserang oleh internasional, maka TNI yang bertindak untuk pertahanan. Tapi kalau ada kekacauan masyarakat biasa maka itu ditangani oleh polisi sebagai keamanan.

Apakah kompetensinya sama atau beda?

Berbeda. TNI untuk pertahanan menghadapi serangan dari luar. Polisi menghadapi kasus keamanan seperti kerusuhan. Tapi polisi boleh meminta bantuan TNI saat mereka tidak bisa mengatasinya. Misalnya, di suatu daerah hanya memiliki 50 personel polisi sementara penduduknya 1.000 orang maka melalui beberapa tahapan polisi bisa meminta bantuan TNI.

Komnas HAM dalam melakukan pekerjaan sekarang ini, apakah mempunyai ruang gerak yang lebih baik dari yang dulu atau sama saja?

Menurut saya, sama saja. Masalahnya hasil kerja Komnas HAM berupa rekomendasi sehingga tergantung bagaimana tindak lanjut dari rekomendasi tersebut. Jadi Anda bisa melihat itu dari apa yang telah dikerjakan Komnas HAM. Misalnya, pelanggaran HAM berat mulai dari penghilangan orang secara paksa, 13 aktivis diculik, kasus semanggi I dan II, dan kasus Trisakti selesai dikerjakan Komnas HAM tapi tidak ditindaklanjuti. Rekomendasi yang lain seperti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian juga tidak ditindaklanjuti. Tapi sekarang kami memiliki semacam MoU dengan Kepolisian. Setiap temuan komnas HAM yang mengidentifikasi ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi, maka polisi harus menindaklanjuti. Kita memang harus mempunyai terobosan-terobosan semcama itu karena kalau berdasarkan undang-undang kita hanya bisa memberikan rekomendasi.

Apakah daftar rekomendasi itu bisa dipublikasikan sehingga bisa diketahui mana yang sudah dilaksanakan?

Saya rasa bisa saja seperti penangkapan polisi terhadap petugas rumah sakit. Sekarang polisi yang menangkap sudah disidangkan.

SUMBER: perspektifbaru.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com

0 komentar: