Kaum Ibu dan Harmonisasi Sejati di Kawasan Poso

Diposting oleh Forum Poso Bersatu

"Ibu-ibu mau dengar lagu dangdut? Goyangnya mau yang pelan-pelan atau yang hot?" tanya artis dangdut Jihan Amir kepada 400-an ibu-ibu yang berkumpul di Gedung Wanita Poso, Sabtu (29/7) pagi.

"Yang hoooottttt…," jawab ibu-ibu itu serentak. Sabtu itu 400-an ibu-ibu yang berkumpul tampak gembira. Mereka adalah janda korban konflik Poso tahun 1998-2000 dari dua komunitas yang pernah bertikai di Poso. Ada juga yang berasal dari keluarga korban sejumlah teror di Poso, seperti bom Tentena, bom Pasar Sentral Poso, serta pembacokan dan penembakan misterius.

Mereka juga datang dari pengungsian, seperti dari Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong, Tojo Una-una, dan Morowali, Sulawesi Tengah. Setelah konflik horizontal di Poso berakhir enam tahun lalu, baru kali itulah korban konflik Poso bersilaturahmi.

Silaturahmi yang diprakarsai dan difasilitasi Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah itu juga menghadirkan 11 psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Markas Besar Polri, dan Polda Sulteng. Psikolog ini akan mengkaji sejauh mana trauma dan beban psikologis yang dialami para janda korban konflik Poso untuk selanjutnya mengetahui terapi seperti apa yang akan diberikan.

Di tengah kegembiraan, beberapa ibu, antara lain Sofia (35) dan Agustina Paimbong (50), tampak menitikkan air mata, terharu, karena baru kali inilah mereka merasa diperhatikan.

Suami Sofia tewas saat kerusuhan Poso pada Mei 2000 dan sampai sekarang jenazahnya tidak ditemukan. Sedangkan dua anak Agustina tewas misterius pada tahun 2002.

Pascakonflik Poso, Sofia harus mengungsi ke Palu karena harta bendanya tak bersisa. Selama dua tahun, ia dan kedua anaknya yang masih kecil harus tinggal di tenda pengungsi.

Empat tahun lalu Sofia mendapat modal dari seorang pengelola Yayasan Alkhaairaat untuk berjualan nasi kuning. Warung itu kini sekaligus menjadi "rumah" barunya. Walaupun penghasilannya pas-pasan, Sofia mengaku dapat menghidupi dua anaknya. "Saya bersyukur karena banyak teman janda sampai sekarang tidak memiliki tempat tinggal dan tidak lagi mampu menghidupi anak-anaknya," katanya.

Berkepanjangan
Ketika konflik meletus 1998-2000, para ibu kehilangan seluruh harta benda, suami, anak, dan sanak saudara. Yang tersisa hanyalah pakaian di badan, satu-satunya harta di pengungsian.

Kini, setelah enam tahun konflik berlalu, penderitaan mereka belum berakhir dan seakan tak berujung. Mereka masih hidup dalam kondisi serba tidak pasti. Sebagian besar masih tinggal di barak pengungsi. Sebagian lainnya menumpang di rumah keluarga.

Untuk menyambung hidup, mereka yang masih berusia produktif bekerja sebagai buruh tani, buka warung kecil-kecilan jika ada modal, menjadi pembantu rumah tangga, atau kerja kasar lain. Tidak sedikit yang menganggur. Sedangkan yang sudah uzur hidup dari belas kasihan sanak-saudara.

Anak-anak mereka banyak yang tidak lagi sekolah. Data Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan, dari 29.446 anak di Poso, baru 14.703 orang yang memiliki kesempatan belajar. Tidak sedikit anak dimasukkan ke panti asuhan karena si ibu tidak mampu lagi menghidupi.

Berbagai upaya rehabilitasi Poso sebenarnya banyak dilakukan. Sayangnya, rehabilitasi itu selalu dikaji dari perspektif pemerintah, aparat keamanan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama yang didominasi kaum lelaki dan bukan merupakan korban langsung dari konflik Poso. Permasalahan yang dibahas pun melulu soal keamanan.

Sedangkan para janda korban konflik tidak pernah masuk dalam agenda rehabilitasi. Bahkan, dana kemanusiaan Poso berupa jaminan hidup, bekal hidup, bahan bangunan rumah, dan transportasi pemulangan pengungsi yang total keseluruhannya sekitar Rp 200 miliar diselewengkan pejabat berwenang sehingga tidak pernah mereka dapatkan.

Ironisnya, upaya rehabilitasi Poso yang telah menghabiskan dana ratusan miliar rupiah itu tidak pernah membuahkan hasil memadai. Penyebab kerusuhan Poso masih jauh dari "terungkap". Kondisi keamanan Poso tetap saja seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu siap meledak.

Ini bukan saja mengakibatkan rasa curiga tetap tumbuh subur di antara dua komunitas yang pernah bertikai, tetapi juga di antara masyarakat dan aparat keamanan. Bahkan menimbulkan rasa tidak adil bagi keluarga korban yang tewas karena pembunuh keluarga mereka tidak pernah terungkap dan dihukum.

Situasi itu juga menyisakan persoalan pemisahan penduduk berdasarkan agama. Kota Poso identik dengan warga Islam. Sedangkan Tentena identik dengan Kristen. Padahal, sebelum kerusuhan, warga dari berbagai agama membaur di hampir semua wilayah Poso. Perdamaian dan harmonisasi sejati memang masih jauh dari Poso.

Beban psikologis
Kini muncul kesadaran bahwa faktor keamanan bukanlah satu-satunya persoalan utama di Poso. Terwujudnya harmonisasi abadi di Poso mulai dijadikan agenda penting.

Strategi mewujudkan harmonisasi itu pun mulai diubah, yang tadinya selalu dari perspektif kaum adam mulai diarahkan ke perspektif kaum ibu, khususnya keluarga korban konflik Poso.

Karena itulah, Sabtu lalu Polda Sulteng memfasilitasi pertemuan 400-an janda korban konflik Poso di Gedung Wanita Poso. "Selama ini, suara janda korban Poso terkesan kurang diperhatikan. Padahal, peran ibu dalam mempersiapkan generasi masa depan sangat vital dan masa depan Poso ada di tangan anak-anak mereka. Melalui ibu diharapkan anak-anak Poso dapat memahami arti penting kerukunan antar-umat beragama," kata Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Oegroseno.

Untuk dapat memainkan peranannya itu, trauma mereka harus dihilangkan dulu, luka mereka harus disembuhkan, dan impitan ekonomi harus dicarikan jalan keluar.

Itulah yang disampaikan Dr Sofia Retnowati, staf pengajar Fakultas Psikologi UGM yang ditunjuk Polda Sulteng sebagai koordinator psikolog. "Beban psikologis mereka masih sangat berat. Ini harus disembuhkan dahulu agar mereka dapat memahami makna pluralisme dan kemudian mengajarkan kepada anak-anaknya," kata Sofia.

Menurut Sofia, beban psikologi janda-janda korban konflik Poso jauh lebih berat dibandingkan keluarga korban gempa dan tsunami di Aceh. Pengungsi di Aceh melihat mereka kehilangan harta benda dan keluarga karena bencana alam. Sedangkan janda-janda korban konflik Poso melihat mereka kehilangan segalanya karena perbuatan manusia yang dampaknya masih dirasakan hingga saat ini.

Sejumlah janda korban konflik Poso selalu bertanya apa mereka masih mampu membesarkan anak-anaknya, sampai kapan tinggal di pengungsian atau menumpang di rumah saudara, dan kapan teror di Poso berakhir.

Saat ini mereka masih menyimpan rasa marah dan membatasi diri terhadap orang yang bukan berasal dari komunitasnya. Tetapi, mereka juga mulai menyadari mereka semua adalah korban dari konflik. Mereka juga menyadari bahwa sebelum konflik Poso meletus, umat beragama di Poso begitu harmonis, saling bersahabat satu dengan lainnya, bahkan saling kawin-mawin. Mereka juga bertekad tidak akan mau lagi diprovokasi. (Reinhard Nainggolan)

SUMBER: Kompas
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com/

0 komentar: