Konflik Poso dan Public Trust

Diposting oleh Forum Poso Bersatu

Poso dalam dua pekan terakhir kembali bergejolak. Penggrebekan yang dilakukan Densus Anti Teror 88 terhadap 29 DPO kerusuhan Poso berbuntut panjang. Konflik antara aparat dan masyarakat menjadi seperti terbuka, yang selama ini aktor konflik dalam Poso lebih bersifat primordial, yakni konflik antar etnik Muslim dan Kristen sebagai imbas dari konflik di Maluku.

Menjadi menarik untuk ditilik kembali, mengapa dalam tiga bulan terakhir sejak eksekusi terhadap Tibo dan kawan-kawan (dkk) peta konflik etnik di Poso menjadi berubah. Bahkan kepolisian menetapkan hukum darurat sipil dengan perintah tembak di tempat kepada siapa saja yang membawa senjata api baik rakitan ataupun organik yang digunakan untuk tindak kekerasan. Tulisan ini akan menganalisis ekskalasi konflik di Poso dengan mempergunakan teori ABC dari Johan Galtung untuk memotret konflik Poso serta mencoba memberikan beberapa solusi.

Bingkai konflik
Konflik Poso dalam perspektif teori ABC Galtung merupakan konflik yang dihasilkan dari interaksi 3 faktor yang sangat deterministik satu sama lain. Faktor yang pertama adalah attitude, baik dari etnik yang berkonflik dengan aparat keamanan. Konflik dilandasi oleh kecurigaan dari etnik yang berkonflik kepada aparat keamanan yang justru diyakini sebagai aktor baru dalam konflik. Bertambahnya pasukan baik dari organ kepolisian ataupun tentara dalam batas tertentu belum menyebabkan de-eskalasi konflik, namun justru menjadi pemicu ekskalasi konflik itu sendiri.

Hal ini kemudian mengimbas ke dalam behavior dari bingkai konflik di Poso. Konflik etnik yang biasanya mempergunakan senjata seadanya kemudian mengalami ekskalasi cukup signifikan karena bertambahnya peredaran senjata baik rakitan ataupun organik sebagai akibat meluasnya konflik. Kepemilikan senjata menjadi sebuah keharusan bagi setiap yang berkonflik untuk bisa meningkatkan preferensi rasa aman. Sehingga dalam batas tertentu, kelompok yang berkonflik di Poso mempergunakan adagium politik perdamaian dari Von Clausewitz, barang siapa ingin damai, maka ia harus siap berperang. Logika ini telah tertanam kuat di tingkat elite dan massa dari aktor-aktor yang berkonflik.

Bertambahnya jumlah personel aparat keamanan dengan persenjataan yang lengkap justru bukan menimbulkan ketenangan masyarakat yang sedang berkonflik, namun justru mengundang kecurigaan. Jika aparat keamanan kemudian berpihak pada salah satu kelompok, maka keseimbangan kekuatan bagi yang sedang berkonflik menjadi timpang. Ketimpangan kekuatan inilah yang akan menjadi picu lahirnya agresi kelompok satu atas kelompok yang lain.

Perilaku untuk saling curiga ini tampaknya belum terselesaikan setelah konflik ini berjalan hampir 7 tahun berlalu. Hadirnya aparat keamanan belum berhasil menciptakan perasaan aman di masyarakat.

Meningkatnya ekskalasi konflik di Poso juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan contradiction. Terlalu banyaknya rumors yang berkembang sekitar konflik Poso menyebabkan arah konflik menjadi serba tidak jelas. Apakah ini konflik agama murni, atau bersintesis dengan konflik ekonomi, politik, atau bahkan rekayasa elite senantiasa berseliweran di tengah publik Poso.

Dalam pandangan Johan Galtung, berkembangnya isu yang tidak bertanggung jawab tersebut akan menyebabkan celah kontradiksi akan semakin melebar, sehingga berbuntut dengan semakin mengecilnya ruang kepercayaan satu sama lain. Aparat tidak dipercaya oleh masyarakat, antarmasyarakat saling tidak percaya, elite tidak dipercaya oleh massanya, atau bahkan jangan-jangan pemerintah juga sudah tidak percaya kepada masyarakat. Jika sudah demikian akutnya kontradiksi maka konflik akan menjadi sebuah benang kusut yang sulit diurai.

Public trust
Dari bingkai konflik tersebut tampak bahwa ekskalasi konflik lebih disebabkan oleh timbulnya ketidakpercayaan satu sama lain dari pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik Poso selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada pendekatan komunikasi antarbudaya yang berwatak persuasif. Birokrasi pemerintah yang terlibat dalam proses menciptakan tertib sipil di Poso lebih mengedepankan Kementerian Hankam, Kementerian Polsoskam, tetapi belum banyak mengedepankan kementerian Komunikasi dan Informasi.

Kepincangan informasi ini jelas menjadi salah satu aspek yang harus dibenahi oleh birokrasi pemerintah, jika memang pemerintah berikhtiar untuk menyelesaikan persoalan di Poso. Negosiator pemerintah harus memiliki kemampuan manajemen isu yang baik sehingga kehadirannya bukan menjadi aktor baru dalam konflik tetapi bisa mengurangi derajat kontradiksi antarpihak yang berkonflik.

Negosiator dengan senapan lengkap dan tembak di tempat sudah tidak efektif lagi karena justru dianggap sebagai sebuah tantangan. Senjata tidak lagi menjadi faktor untuk menekan pihak yang berkonflik untuk menghentikan konflik.

Public trust ini akan terciptanya jika proses penyelesaian konflik mengedepankan aspek human security. Public trust harus dibangun dengan sangat sistematis agar terjadi perubahan paradigma human security masyarakat Poso yang sedang berkonflik, dari memegang senjata dan nafsu untuk bermusuhan menjadi memegang cangkul dan nafsu untuk hidup berdampingan. Upaya mengubah paradigma human security ini jelas tidak akan tercipta jika pemerintah masih mengedepankan pendekatan human security by security approach.

Pemerintah memerlukan asistensi dari masyarakat sipil dalam upaya menabur bibit-bibit public trust dengan mengelaborasi nilai-nilai sipil yang sebenarnya sudah tertanam di masyarakat. Proses penaburan nilai kedamaian dan hidup berdampingan diharapkan berjalan secara alamiah, bertahap, dan kultural. Sehingga akan muncul sebuah penghormatan baru tentang apa itu nilai-nilai kedamaian.

Sekali lagi, pemerintah harus belajar banyak untuk tidak mudah untuk menumpahkan amunisi di setiap konflik yang beraroma primordialis. Jika pemerintah terlampau mudah menumpahkan amunisi maka sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap ekskalasi konflik primordial adalah pemerintah itu sendiri. (Oleh: Surwandono, Dosen Fisipol UMY dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UGM).

SUMBER: Republika
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com

0 komentar: