Menghapus Trauma Konflik Poso

Diposting oleh Forum Poso Bersatu

Bisa saja bangunan-bangunan rumah, tempat ibadah, pasar, terminal yang terbakar pada konflik Poso yang lalu, tidak lagi ditemukan bekas-bekasnya sekarang ini karena sudah direhabilitasi. Namun trauma akibat konflik tersebut pasti masih terbayang ataupun membekas dalam ingatan orang, terutama pelaku ataupun korban yang mengalaminya baik secara langsung maupun tidak langsung. Menghapus trauma memang tidak semudah membangun bangunan yang baru untuk mengganti yang telah rusak. Hal tersebut disebabkan konflik itu melibatkan massa, trauma yang ditimbulkannya adalah trauma kolektif. Efeknya bukan kesadaran historis yang berbasis peristiwa melainkan kesadaran yang berbekas dalam jiwa. Bekas peristiwa itu kemudian yang membentuk pola-pola kesadaran ataupun struktur mental yang negatif yang akan mempengaruhi prilaku aktual.

Tampaknya hal tersebut telah menjadi kesadaran dari berbagai pihak. Misalnya beberapa program yang telah dilakukan oleh pihak Polda Sulteng untuk menghibur para korban. Hal tersebut memang penting tapi tidak cukup. Sifat menghibur adalah menyenangkan tapi hanya sesaat, tidak abadi. Bila sudah bosan akan tidak efektif lagi. Karena itu diperlukan terapi yang menyeluruh terhadap semua yang terlibat, tidak terkecuali pihak kalah ataupun menang, Islam atau Kristen, penduduk Poso atau bukan dan seterusnya.

Lalu, apakah yang disebut trauma? Trauma adalah bekas atau torehan dari suatu peristiwa negatif di masa silam, tulis Budi F. Hardiman (2005) dalam sebuah bukunya. Sedangkan peristiwa negatif menurutnya adalah kehadiran sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan, dan manusia terseret ke dalam hal yang menakutkan itu tanpa mampu mengendalikan dirinya. Konflik Poso adalah peristiwa negatif karena didalamnya terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan, penindasan dan seterusnya pada manusia. Seterusnya, mengingat peristiwa konflik Poso sama dengan mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa negatif tersebut. Bagi korban yang mengalami atau melihat pembantaian keluarganya misalnya, berarti me-rewind peristiwa tersebut seakan baru saja terjadi di depan matanya. Inilah yang kemudian menimbulkan trauma.

Dampak dari peristiwa ini semakin membesar apabila dalam peristiwa negatif tersebut melekat suatu identitas tertentu misalnya agama. Penderitaan seorang individu menjadi penderitaan kolektif karena orang tersebut menganut agama yang sama dengan dirinya. Maka penderitaan yang dialami harus dibalaskan oleh semua orang yang seagama. Konflik Poso bermula dari sebuah kriminal murni yaitu perkelahian dua orang anak muda yang kebetulan berbeda agama. Terlepas dari adanya penyebab lain, perkelahian itu kemudian mejadi kerusuhan sosial yang berbau Sara yang massif.

Dikarenakan konfliknya bersifat massif maka trauma individu menjadi trauma kolektif atau dialami oleh banyak orang. Trauma itu sendiri, tulis Budi Hardiman, adalah berbasis peristiwa tapi trauma itu sendiri tidaklah berciri peristiwa. Dia adalah bekas yang membekukan peristiwa dan menghadirkan kembali serta melebih-lebihkan sisi gelapnya. Karena itu, tulis Budi Hardiman, juga trauma bagaikan seorang diktator yang mendikte kekinian korbannya.

Jika orang mengalami trauma maka akan susah menghapusnya.Apa yang dialami pada suatu peristiwa seakan-akan terulang terus-menerus seperti mesin yang digerakkan secara mekanis. Jika korban mengingat peristiwanya maka ia seakan-akan mau membalas peristiwa tersebut seketika. Sebaliknya korban mengingat ulang peristiwanya demi menghindari peristiwa itu kemudian terjadi lagi di masa depan. Karena itu menurut Budi Hardiman, mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan bagian dari mekanisme psikis yang tidak pernah dilepaskan. Korban ingin melupakannya, tetapi justru mengingatnya. Ingatannya akan negativitas peristiwa itu menajam justru saat dia ingin melupakannya. Budi Hardiman menyimpulkan, mengingat dan melupakan seolah-olah bergerak dalam sistem-sistem paksaan psikis dalam diri korban.

Dengan demikian prosesi pemaafan menjadi sulit. Si korban bukannya tak mau memaafkan pelaku, melainkan tak mampu keluar dari jerat-jerat prasangka yang menimpanya setiap saat. Bila ia memaafkan pelaku berarti dia merasa diinjak-injak harga dirinya. Gejolak batinnya ditindas oleh pelaku. Dia tak punya harga diri lagi. Terjadilah konflik batin yang menyesakkan dada. Ketika ego lebih besar yang dominan maka tindakan balas dendam menjadi sesuatu yang alamiah dan wajar.

Oleh karena itu diperlukan detraumatisasi.Detraumatisasi menurut Budi Hardiman, harus dimulai dengan semacam askese duniawi yang ditandai oleh tiga latihan, yaitu diam, ketenangan hati, dan merelakan. Penjelasannya sebagai berikut. Diam, bukanlah hilangnya bunyi, juga bukan membisu melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Manusia sebagai elemen massa mendengar prasangka kolektifnya dan bertindak menurutnya. Ada pemaksaan dari prasangka kolektifnya sehingga ia secara terpaksa juga bertindak walaupun tidak sesuai hati nurani. Hati nurani dipenjarakan oleh sebuah prasangka kolektif. Karena itu untuk menepis prasangka orang harus berlatih menjadi pendengar yang baik. Untuk itulah diam, sebagai pertanda memuncaknya bahasa, kulminasi komunikasi.

Ketenangan hati lahir dari sikap mendengarkan. Ketenanganan hati dapat dicapai melalui pengumpulan diri. Ketenangan hati diperoleh dari sebuah sikap keterbukaan. Di dalam ketenangan hati korban berkata “ya” sekaligus “tidak” terhadap traumanya. Dia berkata “ya” karena bekas traumatis itu membentuk jati diri individu dan sosialnya. Tetapi dia berkata “tidak”, karena jati diri itu mengarah ke masa depan. Diri yang tercerai berai oleh trauma dapat melupakan trauma dengan lari dari ketenangan hati dan membenamkan diri dalam kegaduhan. Tetapi ketercerai-beraian ini itu hanya dapat dikumpulkan kembali lewat membiarkan yang telah lewat, lewat langkah-langkah panjang dari kesabaran.

Askese untuk diam dan pengumpulan diri berkaitan dengan hal yang dasariah ini: merelakan. Merelakan berarti membiarkan ada. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaitisme, melainkan suatu upaya memutus rantai kekerasan. Detraumatisasi dimulai dengan merelakan. Artinya, tidak menghantam kata-kata dengan kata-kata-karena selama itupula orang masih berkubang dalam prasangka kolektif- melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Dan, dalam sikap mendengarkan orang menjadi dekat dengan dirinya, mengumpulkan diri dan memasuki ketenangan hati.

Jalan untuk menghapus trauma di Poso mungkin masih jauh. Demonstrasi baik pro maupun kontra terhadap hukuman mati Tibo dan kawan-kawan adalah cerminan sikap yang tidak bisa diam. Juga menggambarkan sebagai orang yang tidak memiliki ketenangan hati. Di atas segalanya demontrasi itu juga sebagai sikap yang tidak merelakan. Seperti kata Budi Hardiman, detraumatisasi adalah tindakan merelakan. Merelakan berarti melampaui mengingat dan melupakan.

Menghapus trauma konflik Poso bukan perkara memberikan kepuasaan material ekonomi atau memenuhi hasrat politik. Apalagi menghapus trauma bukan hanya sekedar menghadirkan artis dangdut untuk menghibur janda-janda korban kerusuhan Poso. Menghapus trauma harus dapat menyentuh kedirian yang terdalam bagi siapa saja yang mengalami. Jalannya berupa pendidikan dan pengasuhan yang harus mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri.Ini membutuhkan kearifan, hati nurani dan fikiran yang jernih. Bagaimana Pak Kapolda, setuju? Wallahu A’lam. (Diposting oleh saleh awal).

SUMBER: salehawal.blogspot.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com

0 komentar: