Sudah lebih dari 7 tahun rakyat Poso dilanda konflik. Berbagai upaya damai terus dilakukan pemerintah terhadap mereka-mereka yang bertikai. Pertemuan di Malino pada akhir Desember 2001 yang kemudian menghasilkan komitmen bersama bernama "Deklarasi Malino", merupakan upaya rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah untuk kelompok yang bertikai guna menciptakan Poso yang aman dan damai.
Kendati berbagai perundingan dan kesepakatan damai terus saja ditawarkan, pada kenyataannya semua itu tidak dapat mengubah situasi yang bergolak di tanah Poso menjadi lebih baik. Konflik terus menyelimuti kota tersebut. Cita-cita damai masyarakat di dalamnya tampaknya semakin jauh dari harapan.
Lihat saja, dalam dua pekan terakhir ini, Poso kembali bergejolak. Hal itu setidaknya berawal dari penggerebekan yang dilakukan Densus 88 Antiteror terhadap 29 DPO (daftar pencarian orang) yang diduga sebagai penyebab terjadinya kerusuhan Poso. Penggerebekan itu akhirnya berbuntut panjang.
Mencermati kejadian berdarah itu, tentu saja semua masyarakat Poso menunggu penyelesai damai di daerahnya. Sebab kita yakin rakyat Poso selalu dicekam ketakutan yang tiada henti, apalagi akibat konflik itu banyak masyarakat sipil yang menjadi korban. Jadi tidak ada alasan lagi bagi para pihak, untuk menunda-nunda penyelesaian masalah Poso. Besarnya harapan rakyat Poso akan terwujudnya kedamaian di bumi mereka, harus diupayakan sesegera mungkin.
Agenda penyelesaian Poso harus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat waktu. Bila tidak, masyarakat akan terus dilanda kecemasan atas kemungkinan terjadi lagi serangan yang dapat mengancam nyawa mereka.
Memang untuk mengembalikan kondisi Poso seperti sediakala tidaklah mudah, dibutuhkan waktu yang panjang. Namun bagaimana pun kesengsaraan yang dialami rakyat Poso harus disudahi.
Semua ini harus dipikirkan pemerintah dan para pihak yang terkait dengan kesungguhan dan keseriusan. Jangan lagi pemerintah saling mengobral retorika. Pilihan pemerintah sekarang hanya tinggal satu, yaitu bagaimana membawa masyarakat Poso bergerak melangkah ke depan, menuju masyarakat yang damai dan aman. Bukan masyarakat yang penuh konflik sepanjang waktu. Kepemimpinan Presiden SBY-JK akan dipertaruhkan untuk menuntaskan penderitaan rakyat Poso.
Agar kedamaian benar-benar bisa terwujud di bumi Poso, upaya terpenting dan urgen adalah penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu. Siapa pun pelaku yang bikin keributan, apalagi kekerasan harus dijatuhi sanksi hukum yang berat agar menimbulkan efek jera.
Karena itu, penanganan konflik Poso membutuhkan dukungan politis dan hukum yang lebih kuat dari pemerintahan yang saat ini berkuasa. Ini harus disepakati bersama dan diimplementasikan secara nyata di tengah masyarakat.
Di samping itu, baik pemerintah, tokoh masyarakat maupun tokoh agama harus selalu berupaya meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang bertikai. Karena bagaimana pun penyelesaian konflik Poso tidak cukup hanya dengan mengedepankan pendekatan hukum dan keamanan semata, tetapi pendekatan individual.
Lebih dari itu, penyelesaian konflik Poso harus juga mengedepankan pendekatan komunikasi di antara elemen-elemen masyarakat. Hal itu merupakan tugas dari tokoh-tokoh di Poso, disertai berbagai elemen masyarakat yang ada.
Budaya komunikasi ini harus diupayakan secara terus-menerus. Sehingga masyarakat bisa saling menerima segala perbedaan yang ada, baik keragaman suku, budaya maupun agama yang ada. Masyarakat harus diyakini bahwa perbedaan yang ada merupakan suatu kekayaan yang tidak terhingga nilainya.
Sekali lagi, pemahaman tentang perbedaan itu harus dipupuk. Caranya dengan saling hormat-menghormati di antara sesama warga yang ada. Sebagai poin tambahan, pemerintah pusat juga sudah saatnya memberikan perhatian dalam membangkitkan perekonomian di Poso. Sebab bisa saja faktor kesenjangan sosial menjadi penyebab utama berbagai konflik yang terjadi selama ini.
Akhirnya kita sadar bahwa penyelesaian yang utuh semua persoalan Poso tentu saja bukan hanya sekadar melakukan perundingan atau pun negosiasi. Namun yang tidak kalah penting dilakukan adalah bagaimana kehadiran pemerintah di bawah kepemimpinan duet SBY-JK, sepanjang waktu dapat memberikan manfaat yang sangat berarti bagi seluruh warga Poso.
Inilah tugas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengambil hati dan meyakinkan rakyat Poso, bahwa mereka berdua adalah presiden dan wakil presiden pilihan rakyat. Mereka berdua juga benar-benar mampu mengayomi rakyatnya.
Semoga konflik di kota Poso akan dapat segera diakhiri dan damai akan terwujud di masa-masa mendatang. (Oleh Oksidelfa Yanto, Penulis adalah staf di CSIS Jakarta)
SUMBER: suarakarya-online.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Sekitar 350 murid sekolah dasar dari 12 kecamatan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Kamis (20/7), mendeklarasikan tujuh butir perdamaian Poso. Mereka meminta pemerintah melaksanakan deklarasi itu sesegera mungkin.
Tujuh butir deklarasi perdamaian Poso itu disampaikan dalam rangka Pekan Ekspresi Anak Poso 2006 yang dilaksanakan 20-22 Juli. Acara yang diselenggarakan Jaringan Pemerhati Perlindungan Anak (JPPA) Poso ini mengambil tema ”Menatap Masa Depan Anak Poso Pascakonflik”.
Tujuh butir perdamaian Poso itu meliputi wujudkan kedamaian di Poso, hak-hak sebagai anak harus diberikan sesuai dengan UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, kekerasan terhadap anak harus dihilangkan, pendidikan harus diberikan gratis, korupsi harus dibasmi dengan adil sesuai hukum yang berlaku, anak-anak harus dilindungi dari bahaya narkoba dan pergaulan bebas, serta percepatan pembangunan di Poso.
Selain pembacaan deklarasi, Pekan Ekspresi Anak Poso 2006 juga diisi berbagai kegiatan lain, seperti lomba kreativitas anak, pertunjukan seni anak-anak, pameran karya anak-anak Poso, serta dialog anak dengan orangtua dan anggota DPRD Poso.
Koordinator JPPA Poso, Darwis Waru, mengatakan, selain untuk memperingati Hari Anak Nasional, 23 Juli 2006, acara ini juga untuk membangun komunikasi anak-anak lintas komunitas di Poso serta dengan pemerintah, legislatif, dan orangtua. Juga diharapkan dapat menyalurkan minat, bakat, dan kreativitas anak-anak Poso agar tidak larut dengan trauma akibat konflik horizontal 1998-2000. (REI)
SUMBER: Kompas
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Seorang pekerja sosial mengatakan berkisar antara 15-20 persen perempuan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pernah menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan berbagai pihak.
Kekerasan tersebut termasuk kejahatan seksual yang angka korbannya pun tidak sedikit, mencapai ratusan dan mungkin ribuan orang.
Kepala Subdin Pemberdayaan Perempuan pada Kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Poso, Rusnah Mangun, Selasa, mengatakan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di daerah bekas konflik tersebut memerlukan perhatian serius semua pihak untuk mencarikan solusi terbaik.
"Ini sangat penting sebab menyangkut perlindungan terhadap kaum perempuan saat ini dan mendatang," kata dia, ketika memberikan ceramah pada acara Sosialisasi UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta Penyuluhan Kesehatan Reproduksi di pinggiran kota Poso.
Acara sosialisasi yang merupakan Program Pemkab Poso dan berlangsung dua hari itu diikuti 75 ibu rumah tangga dan wanita dewasa dari Kelompok Dasa Wisma di wilayah Kecamatan Poso Pesisir Utara.
Beberapa pejabat instansi teknis lainnya seperti Dinas Kesehatan turut memberikan materi ceramah pada acara tersebut.
Rusnah Mangun juga mengatakan, banyaknya persoalan yang dihadapi ibu rumah tangga di Poso dewasa ini salah satunya disebabkan oleh perlakukan buruk pasangan hidupnya, telah berakibat pada terganggunya perempuan baik secara lahiriah maupun bathiniah.
"Semua elemen masyarakat perlu mencermati masalah ini dan harus berusaha memberikan percerahan dan pemahaman agar tidak lagi terulang, termasuk perempuan sendiri mempunyai andil besar dalam mengambil langkah kuratif dan preventif," katanya, seraya menambahkan "saya kira apabila anda melihat ada ibu rumah tangga dianiaya oleh suaminya laporkan saja kepada aparat berwajib agar diproses".
Namun demikian, Rusnah Mangun mengingatkan kalau ibu rumah tangga memiliki peran strategis dalam membentuk kehidupan keluarga yang bahagia dan sejahtera, sehingga perlu memikirkan baik-buruknya suatu tindakan yang akan dilakukan.
"Selain itu, tutur kata yang tetap halus termasuk bagian dari upaya menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga," katanya.(*)
SUMBER: Antara
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Sejak awal pekan ini, kita ramai mendapat laporan mengenai konflik di Poso yang kembali mencuat. Media cetak, radio dan televisi ramai membahasnya, bukan saja di Indonesia tapi di seluruh dunia. Contohnya liputan Reuters yang menyatakan Poso di ujung tanduk akibat gerakan teror. Laporan ini didasarkan penelitian International Crisis Group yang secara intensif mengikuti konflik Poso selama bertahun-tahun.
Laporan oleh Hayat Mansur
Masalah Poso memang rumit. Pada Rabu malam (24/1), saya menonton tiga tayangan wawancara yang membahas kasus Poso di televisi, bahkan salah satu sumbernya adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Terus terang, saya baru mendapat kejelasan kasus Poso saat menyaksikan Wimar's World di Jak-TV yang juga membahas topik Poso. Di sini terlihat sekali kronologi insiden Poso dalam kaitan antara peristiwa yang lalu dan sekarang. Cobalah lihat tayangan ulang (Senin 15.00) dialog yang sangat hidup antara Wimar Witoelar dengan Anggota DPD asal Sulteng M. Ichsan Loulembah, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sisno Adiwinoto, dan mantan Kepala BIN Abdullah Makhmud Hendropriyono. Disini kami sampaikan beberapa bagian dialog.
Konflik Dulu dan Kini
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan konflik Poso dulu merupakan konflik agama tapi sekarang teror. Apakah kejadian Poso yang lalu ada kaitannya dengan yang sekarang?
Ichsan: Seharusnya itu tidak berlanjut tapi ada pihak yang menginginkan ini berlanjut
Apakah itu orang dalam atau luar Poso?
Ichsan: Orang dalam yang punya hubungan dengan luar
Siapa pengacau di Poso dan dari kelompok mana?
Hendropriyono: Kasus Poso punya sejarah panjang. Bermula pada tahun antara 2000 – 2001 Poso kedatangan tamu tidak diundang dari luar negeri yaitu kelompok Umar Bandon, Abu Dahdah, dan Umar Farouq.
Apakah mereka itu semua orang luar negeri?
Hendropriyono: Betul. Mereka berangkat dari Madrid, Spanyol, masuk Indonesia lewat Bali dengan pemandu orang Indonesia Parlindungan Siregar. Kita tenggarai mereka melakukan pelatihan militer di Poso. Karena itu pada Agustus 2001 ketika saya sebagai Kepala BIN sudah memberi peringatan agar hati-hati tapi pada saat itu tidak diketahui posisi pastinya.
Jadi mereka bisa melakukan pelatihan militer tanpa diketahui?
Hendropriyono: Ya, walaupun saat itu ada berkas-berkasnya dan videonya
Mengapa dari video itu tidak bisa dilihat lokasinya?
Hendropriyono: memang terlihat ada banyak pohonnya tapi di sini pohon banyak sekali. Tapi orangnya jelas terlihat
Apakah mereka dideteksi melalui kerjasama internasional?
Hendropriyono: Iya. Setelah diburu, kita hanya mendapat satu orang yaitu Umar Farouk yang kemudian dideportasi. Sedangkan yang lainnya lari.
Itu sesudah atau sebelum kerusuhan besar di Poso?
Hendropriyono: Sebelum kerusuhan besar. Setelah mereka kabur, kondisi Poso menjadi seperti bara. Nah itu kemudian dikipasi oleh Jemaah Islamiyah sehingga kemudian menjadi konflik horizontal.
Bukan Sipil tapi Gerombolan
Adang (penelpon dari Rangkas Bitung) : Ada orang pemerintah juga yang terlibat karena yang punya senjata hanya pemerintah
Wimar: Iya, darimana mereka pada punya senjata?
Sisno: Kemungkinan itu dari penyelundupan lewat wilayah yang paling dekat yaitu Filipina.
Apakah penyelundupan itu dibantu kerjasama dengan pemerintah atau polisi?
Sisno: Kita justru mengusut penyelundupan senjata itu. Bisa juga senjata tersebut milik kita. Misalnya, mungkin dulu pernah dirampas, atau sisa Aceh, atau Papua. Tapi senjata-senjata yang disita itu akan ketahuan asalnya saat diperiksa nanti.
Jadi saat ini Anda yakin 100% tidak ada orang pemerintah terlibat?
Sisno: Saat ini tidak ada orang pemerintah terlibat
Kalau Pak Hendropriyono yakin. tidak ada orang pemerintah termasuk jenderal yang terlibat?
Hendropriyono: Hanya ada orang yang memanfaatkan untuk kepentingan politik. Tapi saya menyesalkan pemberitaan yang sering kali menyebutkan sipil bersenjata. Kalau sipil, ya tidak bersenjata. Yang bersenjata itu hanya militer dan polisi. Mereka dilindungi UU. Di luar itu adalah gerombolan. Mereka bisa menyengsarakan 250 juta rakyat Indonesia.
Gerombolan Harus Ditindak
Saat ini ada yang percaya dengan langkah polisi sekarang ini tapi ada juga yang meragukannya. Apakah langkah polisi ini nanti akan menjadi seperti mengorek ketombe, makin mengorek makin banyak?
Hendropriyono: Kalau keadaan normal kita bisa berpikir normatif. Tapi ini keadaan tidak normal akibat adanya gerombolan tadi sehingga sekarang harus pendekatan keamanan
Mengapa 14 orang yang masuk dalam gerombolan itu bisa berdampak pada 250 juta?
Hendropriyono: Mereka organisasi bawah tanah sehingga ada sayap militer dan sayap poltik. Mereka banyak pendukungnya secara politis.
Dimana pendukungnya?
Hendropriyono: Orang politik seperti anggota DPR dan orang partai
Bagaimana orang politik itu mendukung gerombolan?
Hendropriyono: Dengan menyalahkan langkah operasi yang diambil Polri saat ini
Jadi terhadap operasi polisi saat ini, orang harus setuju?
Hendropriyono: Orang harus setuju, karena jika tidak maka itu akan mengorbankan masyarakat Poso dan Indonesia.
Lalu apa yang harus dilakukan lagi sekarang ini menyelesaikan masalah Poso?
Hendropriyono: Harus dibongkar sampai ke akar-akarnya
Sisno: Antisipasi propaganda yang jahat
SUMBER: perspektif.net
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
A. Selayang Pandang
Danau Poso merupakan salah satu obyek wisata andalan Provinsi Sulawesi Tengah. Danau yang berada pada ketinggian 657 meter di atas permukaan laut (dpl) ini termasuk danau terbesar ketiga di Indonesia. Danau ini membentang dari Utara ke Selatan sepanjang 32 km dan lebar 16 km, dengan kedalaman sekitar 360 m di bagian Selatan dan 510 m di bagian Utara. Danau ini memiliki panorama alam yang sangat indah dan mempesona, udara yang sejuk, hamparan pantai pasir putih yang berkilau, serta lereng gunung dan hutan yang perawan di sekitarnya.
Letaknya yang strategis, yaitu berada di lintasan perjalanan trans-Sulawesi antara Tana Toraja, Poso, Gorontalo dan Manado, membuat danau ini selalu disinggahi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.
B. Keistimewaan
Keistimewaan yang dimiliki Danau Poso adalah airnya yang konstan dan sangat jernih. Uniknya, meskipun terjadi banjir pada beberapa anak sungai yang mengalir ke danau ini, airnya tetap jernih atau tidak keruh. Selain itu, hamparan pasir yang terdapat di tepi danau ini terdiri dari dua warna, yaitu putih dan kuning keemasan. Hamparan pasir tersebut tampak berkilauan saat matahari menyinari tepi Danau Poso.
Saat berada di tepi Danau Poso, para wisatawan akan merasakan suasana seperti berada pantai laut. Di tepian danau, warna airnya tampak jernih kehijau-hijauan, sedangkan di tengah danau airnya tampak berwarna biru karena airnya lebih dalam. Di tepian danau tampak ikan-ikan kecil berenang bergerombol di antara gulungan ombak yang menyapu tepian danau. Ombak yang terdorong oleh hembusan angin tersebut meninggalkankan buih putih di tepian danau, hampir sama dengan pantai laut. Bedanya, di sepanjang tepi danau ini tidak terdapat batu karang. Justru karena kondisi demikian, danau ini sangat cocok untuk berenang. Para wisatawan tidak perlu khawatir kakinya terkoyak oleh terumbu karang. Mereka juga tidak perlu takut mata perih atau tenggorokan menjadi serak, karena air danau ini tidak asin seperti air laut.
Para wisatawan juga dapat menyaksikan kemolekan bunga anggrek yang berada di Taman Anggrek Alami Bancea. Di kawasan seluas 5.000 hektar ini, para wisatawan dapat menyaksikan 55 jenis anggrek langka dengan latar belakang pantai pasir putih.
Selain itu, setiap minggu keempat pada bulan Agustus, para pengunjung dapat menyaksikan Festival Danau Poso. Dalam festival tersebut dipertontonkan berbagai macam perlombaan, seperti pagelaran tarian dan busana adat dari berbagai suku di Sulawesi Tengah, permainan tradisional, lomba lagu daerah, pemilihan putri Danau Poso, pertandingan bola voly pasir, lomba perahu hias, perahu dayung, tarik tambang di atas perahu, serta pameran produk unggulan daerah Sulawesi Tengah.
C. Lokasi
Lokasi wisata ini terletak di Desa Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
D. Akses
Danau ini terletak sekitar 283 km sebelah selatan Kota Palu atau sekitar 56 km dari Kota Poso. Dari Kota Palu ke lokasi, dapat ditempuh sekitar 8 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. Sementara dari Kota Poso ke lokasi, dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dengan kendaraan roda empat maupun roda dua.
E. Biaya Tiket Masuk
Masih dalam proses konfirmasi.
F. Akomodasi dan Fasilitas
Di sekitar Danau Poso tersedia berbagai macam fasilitas, seperti hotel, losmen, homestay, dan rumah makan. Salah satu menu utama yang disajikan di warung-warung makan tersebut adalah masakan khas suku Pamona yang disebut dengan arogo, yakni ikan danau yang rasanya sangat gurih yang sayang untuk tidak dicicipi. (SM/mw/32/03-08)
SUMBER: Wisata Melayu
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com/
Kota tentena memiliki iklim pegunungan yang sejuk. Dengan suasana kota yang tenang dengan karakter yang khas terletak di tepi danau Poso dan kota dibelah oleh sungai yang Poso yang jernih sekali . Dengan jelas kita bisa melihat dasar sungai dan ikan yang ada di sungai tersebut. Pada tepi sungai nampak beberapa rumah yang dibangun langsung di atas air lengkap dengan keramba unuk memelihara ikan .
Paniki (Daging Kelelawar).
Seperti pada umumnya kota kecil, maka pasar merupakan pusat aktivitas kota. Kita bisa membeli berbagai sayuran ikan, dan berbagai jenis daging antara lain Kelelawar baik yang masih hidup mupun yang sudah mati yang disebut Paniki seperti yang dijual di pasar pasar di kota Manado . Karena Tentena terletak antara Manado dan Makassar maka selain terdapat makanan yang mirip Manado seperti “Paniki”. Juga ada makanan seperti yang lazim di jual di Makassar “Coto” bedanya kalau di Makassar dimasak dengan bahan daging sapi, di Tentena menggunakan daging babi tetapi konon bumbu dasarnya mirip, dan bagi yang menyukai sama sama terasa nikmat….mak nyussss . apalagi kalau disantap saat perut terasa lapar. Sesuai kata mutiara dlm bahasa Jerman. “ Hunger ist der Beste Koch”, artinya rasa lapar adalah koki (juru masak) yang paling hebat.
Sarana angkutan dari kota Tentena ke wilayah sekitarnya menggunakan mobil stasion Daihatsu atau Colt. Uniknya barang penumpang diletakkan di atas dan berbagai barang dicampur. Misal kelapa, koper, kotak karton berisi Mie Instant, babi hidup dibungkus karung plastik dan hanya terlihat hidungnya.
Fasilitas Wisata bertaraf Nasional.
Dari pusat kota Tentena dengan berjalan kaki atau dengan sepeda motor kita bisa segera sampai ketepi danau Poso. Ditepian danau Poso terdapat berbagai fasilitas rekreasi. Pengunjung bisa menyewa perahu dayung, ban untuk berenang. Jalan jalan ditepi danau atau mengunjungi patung Yesus di kayu salib yang terletak di hutan ditepi danau dan sebagainya. Bagi wisatawan yang ingin bermalam ditepi danau tersedia beberapa hotel yang bersih, asri dengan pandangan yang mempesona ke arah danau Poso.
Fasilitas wisata bertaraf nasional yang sangat megah adalah komplek bangunan yang terletak ditepi danau Toba, terdiri dari bangunan dengan gaya arsitektur “vernacular” khas Sulawesi Tengah dengan bahan bangunan yang alami. Terdiri dari beberapa gedung antara lain anjungan dari tiap kabupaten di propinsi Sulawesi Tengah, gedung serba guna dsb. Kompleks bangunan tersebut sedianya diperuntukkan bagi festival danau Toba yang sesuai rencana saat diresmikan semestinya diadakan pada bulan Agustus secara teratur setiap tahun untuk menarik wisatawan nasional dan manca negara.
Namun saat ini kompleks bangunan tersebut untuk sementara tidak dipergunakan untuk keperluan wisata, tetapi untuk menampung keluarga pengungsi akibat kerusuhan. Kondisi bangunan yang megah dan representativ tersebut nampak memerlukan perhatian dan perawatan dari pemerintah daerah serta dikembalikan fungsingya sbg fasilitas wisata. Mengingat iklim atau suasana lingkungan yang sudah kondusif, aman dan damai di Poso, Tentena dan sekitarnya.
Memperhatikan kampung-kampung di dalam dan di sekitar kota Tentena mengingatkan kita pada kampung “Dorf” di Jerman. Karena setiap lingkungan permukiman nampak ada fasilitas ibadah Gereja dengan menara yang menjulang tinggi yang nampak jelas dari kejauhan.
Ikan Sogili dan Saguer
Apabila kita sudah berada di Tentena jangan sampai terlewatkan menikmati hidangan khas antara lain ikan Sogili yang dimasak dengan bumbu khas Tentena digoreng atau dibakar ditemani dengan saguer di jawa disebut ‘Legen’ minuman manis segar dari pohon Enau, di tepi danau kita sering menjumpai petani yang memikul saguer yang baru diambil dari atas pohon enau.
Setelah menyaksikan keindahan alam dan lingkungan, dalam hati kecil timbul keinginan untuk berlama lama tinggal di Tentena menikmati pemandangan danau Poso dan landskap disekelilingknya yang sangat mempesona, dari atas balkon “Lake view Hotel”. Sambil menikmati kelezatan aneka masakan khas setempat, antara lain ikan sogili bakar dengan segelas saguer segar sambil menghirup udara pegunungan yang sejuk dan bebas polusi. (Dr.-Ing. Ir. Gagoek Hardiman. Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang).
SUMBER: gagoekhardiman.blogspot.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com/
Berbekal seng dan sedikit kayu bantuan pemerintah tahap I tahun 2002, keluarga Daimah Pamoso (62 tahun) membangun sendiri rumah di bekas fondasi rumah mereka yang terbakar habis pada kerusuhan Poso 2001. Karena kekurangan seng, bagian dapur hanya ditutupi atap dari daun kelapa. Rumah baru itu menutupi 3/4 lahan rumah lama. Ketika Republika menyambangi rumah papan yang baru saja selesai dibangun, ibu tua itu hendak menyiapkan pesta pernikahan Marfin, putri bungsunya.
Desa Matako, Tojo Barat, Kabupaten Tojo Una Una yang sebelum pemekaran menjadi bagian Kabupaten Poso, dihuni bersama warga Muslim dan Kristen. Namun, desa mereka dikelilingi beberapa desa Muslim seperti Toyado di sebelah barat dan Bombalo di timur. Mayoritas warga Tojo Una Una sendiri adalah Muslim.
Menurut Daimah, warga Desa Matako yang berbeda agama tak pernah menimbulkan apa-apa. Bahkan saat kerusuhan terjadi, antarwarga Matako tidak saling bakar dan saling bunuh. Mereka sama-sama mengungsi sebelum gerombolan pembakar yang entah dari mana itu menerjang kampung tepi pantai itu.
Warga Muslim Poso biasanya mengungsi ke Kota Poso yang dihuni mayoritas Muslim. Sementara warga Kristen banyak menuju Tentena, wilayah tepi Danau Poso yang dihuni mayoritas Kristen. Di tempat pengungsian itulah Marfin mendapatkan jodohnya. Lebih dari 100 rumah warga Matako rata dengan tanah, baik milik Muslim maupun Kristen.
Tahun 2002, warga mulai kembali. Namun, bantuan pemerintah berupa papan tripleks dan seng hanya cukup untuk membuat gubuk yang sering bocor bila hujan. Pekan lalu, Departemen Sosial dan TNI AD meresmikan bantuan 100 rumah tinggal sederhana. Daimah tidak kebagian. Dibandingkan rumah papan milik Daimah, rumah bantuan pemerintah itu memang lebih bagus. Walau luasnya hanya 6 x 6 meter persegi, dindingnya campuran batako dan papan. Tiap rumah juga diberi tambahan WC. ‘’Kitorang juga minta, mau bantuan. Tapi, katanya terlambat bilang,’’ kata Daimah.
Namun, yang jelas, Daimah dan sembilan putra-putri yang masih tinggal bersamanya tak lagi merasakan adanya ancaman kerusuhan. ‘’Di sini bagus tidak ada rasa apa-apa lagi dengan dorang. Warga Muslim dan Kristen damai, kerja sama, kitorang saling baku bantu,’’ tuturnya. Di pondok barunya, jemaat Gereja Efata itu memajang kalender bergambar Yesus.
Sementara tetangga sebelah Daimah memasang poster Usamah bin Ladin. Warga Desa Kapompa, Kecamatan Poso Kota, yang mayoritas beragama Kristen pun tak sungkan balik kampung lagi. Desa mereka juga diapit wilayah Muslim seperti Labuan dan Kalamalea. Namun, mereka belum sepenuhnya bisa kembali karena belum ada bangunan permanen. Sekitar 80 unit rumah, dua di antaranya milik keluarga Said Binangkara yang Muslim, terbakar habis ketika rusuh melanda di tahun 2001.
Baru Maret 2006 ini mereka mulai kembali membangun rumah sederhana yang lebih baik daripada gubuk tripleks bantuan pemerintah. Biasanya mereka menghabiskan waktu sepekan di desa untuk memelihara tanaman cokelat di kebun. Setelah bekal habis, mereka balik lagi ke tempat pengungsian, mayoritas ke Tentena dan Pampona. Begitu pula keluarga Said Binangkara yang pondoknya hanya 50 meter dari Gereja Protestan Kapompa, telah mulai merawat pohon kelapanya. Said masih bolak-balik ke Kalamalea untuk menjaga ibunya yang sakit.
Menurut Pamona, warga Desa Kapompa, hubungan dengan desa tetangga yang Muslim selama ini telah terjalin balik. Karena itu, mereka pun berani untuk kembali menata hidup di desa mereka. Apalagi Departemen Sosial dan TNI AD telah berjanji untuk membangun kembali rumah mereka yang telah rata tanah. ‘’Tidak ada reaksi apa-apa di sini,’’ kata Pamona ketika ditanya tentang peristiwa pembunuhan terhadap Pendeta Irianto Kongkoli di Palu beberapa waktu lalu.
Perasaan tenang juga tergambar pada Sampiyati, warga Desa Padalembara, Poso Pesisir. ‘’Saya percaya nggak akan ada penyerangan. (Rusuh itu karena) orang luar Poso saja yang masuk,’’ kata Sampiyati. Tak ada lagi cerita takut pergi ke kebun, walau tanaman kopi dan cokelat miliknya yang dibabati para perusuh kini tak bersisa. Berbagai insiden ledakan bom yang terjadi di Poso pun tak lagi menimbulkan keresahan.
Muslimah itu tinggal di desa yang dihuni warga Muslim Jawa dan Hindu Bali. Namun, wilayah Poso Pesisir dihuni mayoritas warga Kristen. Desa transmigran itu dikelilingi beberapa desa Kristen dan tak berdaya ketika konflik lokal mulai memercik pada 2001. Hanya warga Bali yang tak tersentuh konflik agama itu.
Sampiyati kini masih mengungsi di Kota Poso. Dengan bantuan tripleks dan seng dari pemerintah, dia dan suami sempat kembali ke desanya. Namun, kerusuhan besar tahun 2003 membuat gubuknya terbakar habis. Kini, calon penerima bantuan rumah tinggal sederhana dari pemerintah itu sudah tak sabar kembali ke desanya. Tokoh paling berpengaruh di komunitas Muslim Poso, Ustadz Adnan Arsal, mengungkapkan bahwa konflik bertahun-tahun di Poso telah membentuk watak menjadi keras dan saling curiga.
Dia mengungkapkan bahwa pesantrennya yang sebagian besar santrinya adalah anak yatim dan keluarga miskin termasuk menjadi korban kerusuhan Poso. Setelah pesantrennya dibakar, para santri pun menjadi telantar.
Ketika pemerintah memberi bantuan, yang dibangun adalah proyek mercusuar seperti masjid dan gereja, bukan pesantren yang sekaligus berfungsi sebagai panti asuhan. Padahal, selama ini ulama pemimpin pesantren selalu dimintai bantuan pemerintah meredakan ketegangan. Adnan menganggap pemerintah hanya memanfaatkan ulama sebagai pemadam kebakaran. Begitu tugas selesai, ulama dibiarkan menghadapi berbagai macam teror.
Karena itu, Adnan mengusulkan agar pemerintah juga membantu pesantren yang rusak. ‘’Berapa yatim Poso tak dipedulikan dan terpaksa tidur di luar? Pesantren perlu dibantu sehingga kekerasan di dalamnya bisa hilang,’’ ujarnya. Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, berjanji akan memberi bantuan pada pesantren, termasuk membangun pesantren baru untuk Adnan. Namun, dia meminta supaya pesantren itu tidak dibangun di wilayah Tanah Runtuh. ‘’Kalau dipaksakan, berat bagi saya. Kalau ada yang lain dan lebih mudah, kenapa kita harus susah-susah,’’ kata Bachtiar yang tak mau menyebut alasan rinci mengapa Tanah Runtuh menjadi wilayah yang haram dibantu pemerintah.
Namun, Bachtiar yang menjanjikan bantuan tahap pertama senilai Rp 300 juta itu juga meminta janji umat Islam Poso. ‘’Jangan lagi ada bom ikan dan petasan (bom),’’ tutur dia. Rupanya, sekadar deklarasi perdamaian tak akan cukup menghentikan aksi saling bunuh. Kesejahteraan tetap menjadi jurus ampuh di tiap solusi konflik, termasuk di Aceh dan Papua.
Wakil Presiden telah menyediakan dana Rp 50 miliar untuk rehabilitasi Poso. Selain bantuan rumah berjumlah 1.009 unit senilai Rp 18 miliar, Departemen Sosial juga menjanjikan bantuan dana Rp 4 juta untuk korban kerusuhan (bencana sosial). Sementara, warga yang tak terkena kerusuhan mendapat dana bergilir Rp 5,6 juta untuk lima orang, sebagai penggerak kegiatan ekonomi. (rto)
SUMBER: Republika
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Penyelesaian konflik Poso tidak kunjung menemui titik terang, upaya penangkapan terhadap para DPO yang dianggap sebagai penyebab kerusuhan terus digelar oleh pihak kepolisian, namun proses itu justru berujung dengan peristiwa baku tembak yang membawa korban dari masyarakat sipil.
Apa sebenarnya yang terjadi di Poso dan mengapa pemerintah seolah sulit menuntaskan konflik ini? Berikut bincang-bincang eramuslim dengan pemerhati Intelijen yang juga Staf Ahli Wakil Presiden Bidang Keamanan dan Kewilayahan Wawan H. Purwanto.
Bagaimana pendapat anda tentang penanganan konflik Poso, apakah benar Detasemen 88 Polri telah menyalahi aturan?
Sebetulnya kalau prosedur dengan cara persuasif sudah dilakukan, menghimbau mereka untuk menyerahkan diri, juga sudah dilakukan bahkan sudah diundur sampai empat kali tenggang waktu. Dan yang menyerahkan diri tadinya hanya lima, dan yang lima itukan tidak diapa-apakan, akhirnya mereka juga dilepas lagi. Tetapi penegakan hukum kan tidak bisa lantas mendiamkan begitu saja, bagi yang tidak mau menyerahkan diri. Karenanya dilakukan tindakan represif. Sebab ini sudah menyangkut wibawa negara, selain itu mereka sudah menggunakan senjata. Di mana masyarakat sipil tidak boleh menggunakannya, sebab dapat membahayakan serta berpotensial membuat keresahan masyarakat dan menimbulkan teror.
Anda menilai langkah aparat di Poso sudah sesuai dengan prosedur, bagaimana warga sipil yang jadi korban?
Tentunya juga tidak menyalahi ataupun misalnya ada jatuh korban dari warga sipil, memang aparat sendiri menyadarinya, namun ini sesuatu yang sulit dihindari. Karena peluru kan tidak ada matanya, bisa saja memantul ke mana-mana. Inilah yang patut disayangkan, tetapi karena ini salah satu resiko dalam upaya penegakan hukum, sehingga kalau itu dianggap melanggar ataupun apa, dapat disampaikan melalui jalur pengadilan, sehingga prosesnya pun juga tidak menyalahi aturan hukum karena ada alasan-alasan tertentu.
Menurut anda apa sebenarnya yang terjadi di Poso, mengapa konfliknya jadi berlarut-larut?
Kalau sekarang ini sudah mengarah pada dendam, mereka merasa bahwa belum balance (seimbang) jumlah korban dari kelompok tertentu, sehingga mereka mencari keseimbangannya, tapi kalau ini menuruti dendam dan sebagainya, tentu tidak akan ada selesainya. Akan berujung pada balas-berbalas. Saya ingin kerusuhan ini segera diakhiri dan kita semua menatap ke depan saja, tidak menatap ke belakang, namun penegakan hukum harus tetap diupayakan. Kalau mereka ingin Poso tahap pertama dibuka lagi, paling penting saksi dan buktinya. Kalau sekarang memang saksi dan buktinya sudah sulit dicari. Dan jika kita membuka ini, berarti membuka luka lama lagi yang sudah ditutup dengan perjanjian Malino, maka ini tidak akan pernah selesai, dan negara menjadi tidak stabil.
Apakah artinya upaya penegakkan hukum dan perdamaian yang dilakukan pemerintah kemarin, gagal?
Sebetulnya untuk saat ini sudah diadili pelakunya, seperti Tibo cs yang sudah menjalani eksekusi. Begitu juga Hasanudin cs sudah diadili juga meskipun belum divonis. Kemudian juga sudah dilakukan pendekatan supaya ke luarga yang menjadi korban mutilasi dapat memaafkan para pelaku. Demikian juga sudah dilakukan pendekatan dari keamanan dalam hal ini Kapolda Sulawesi Tengah sudah mengusulkan pada pengurus rukun tetangga dan rukun warga untuk bicara dan memberikan peluang kepada mereka yang merupaka para DPO kalau menyerah tidak akan diapa-apakan. Ini menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah sudah menginginkan adanya sikap yang akomodatif menerima mereka yang menyerahkan diri, tetapi yang tidak menyerah memang tidak akan dibiarkan. Karenanya perlu ada kerjasama antara ulama dan umaroh, dan mereka harus bersanding, bukannya bertanding, istilahnya begitu. Saya menginginkan mereka bersatu.
Apa benar konflik ini dipicu oleh pihak-pihak dari luar Poso?
Oh ya, pemicunya memang berasal dari luar. Saya sudah pernah menyampaikan bahwa pada Idul Fitri lalu, akan menjadi tumpuan, sebab kerusuhan ini sudah di-setting melalui rapat-rapat di sebuah hotel terkemuka di Jakarta, dan itu pastinya yang men-setting orang-orang asing, kemudian setelah selesai mereka kabur ke Singapura. Hal tersebut sudah pernah saya sampaikan kepada ulama-ulama baik yang bersal dari garis keras maupun yang moderat supaya tidak terpancing. Namun rupanya hal itu tidak sampai ke Ustadz Adnan Arsyal (Ketua Forum Silahturahmi Persaudaraan Muslim Poso) dan Ustadz Sugianto pada waktu melakukan ceramah di Kwitang, Jakarta Pusat bertemu saya, saya pernah katakan demikian rupanya mereka tidak tahu pesan yang dimaksudkan. Tetapi di sini saya tidak mau menyebutkan pihak asing itu darimana, tidak etislah.
Kelompok Forum Umat Islam beranggapan polisi terlalu berlebihan dalam melakukan penanganan kasus Poso, bahkan terkesan sudah membelokkan fakta yang sebenarnya di sana, Bagaimana menurut anda?
Jadi seperti ini, untuk penanganan yang tidak bersenjata memang bisa dilakukan lobi-lobi ataupun himbauan-himbauan, tapi khusus yang bersenjata tidak bisa dengan cara seperti itu, pasti akan dilakukan upaya-upaya represi dengan menggunakan senjata juga. Ini kalau perlakuannya normal, tentu juga akan menimbulkan korban dari masyarakat maupun aparat. Oleh karenanya memang perlu perlakuan khusus, sebab mereka menggunakan senjata. Dan senjata yang ada pada mereka itu senjata berat, dari berbagai jenis. Saya melihat ada M16, Caraben, ada granat, ada rakitan bom, ada amunisi yang seperti itu banyak, sehingga memang untuk itu tidak bisa dilakukan secara biasa-biasa saja. Dan tentu tindakannya seperti mengepung sebuah milisi atau kelompok sipil bersenjata. Memang kenyataannya di sana ditemukan senjata-senjata tersebut.
Dalam kasus Poso ini kelompok Islam merasa didiskreditkan, karena kelompok yang dicari ini disebut terkait dengan Jamaah Islamiyah ataupun alumni Afganistan, apakah memang benar DPO itu berasal dari sana?
Alumni Afganistan tidak semuanya jelek ya, dan alumni Afganistan tidak lantas semuanya menjadi Jamaah Islamiyah, karena mereka di sana membantu saudara-saudara yang sedang dalam kesulitan pada masa pendudukan Uni Soviet, jadi tidak selamanya bahwa siapa yang berjihad di sana, mesti akan berbuat nekat. Memang ada kekhawatiran setiap alumni Afganistan itu diajari teknik berperang, membuat senjata rakitan maupun teknik membuat bahan-bahan peledak termasuk bom, maka lantas stigma kelompok ini potesial melakukan tindakan itu.
Bagi saya sebaiknya ada pendekatan terhadap Muslim dan karena tidak semuanya mereka berasal dari garis keras dan tidak ingin diajak bicara. Saya ingin supaya tetap dilakukan komunikasi timbal balik agar tidak ada mis-komunikasi.
Saya kebetulan baru pulang dari sana, saya juga melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat supaya mereka sama-sama membangun ekonomi yang porak-poranda dan SDM nya juga diperkuat serta membuka lapangan kerja, sehingga mereka mempunyai kesibukan. Kita harus menatap ke depan, tidak menatap ke belakang supaya tidak hanya stigma-stigma saja yang digelorakan akan tetapi bagaimana mereka kita rangkul untuk menjadi tokoh yang dapat menjadi panutan. Seandainya dia berasal dari kelompok Muslim, Muslim yang bisa diteladani oleh yang lain. Dan dengan sikap yang demikian kita bisa menghimbau aparat tetap berada pada koridor persuasif. Hal ini bisa terbukti kemarin, ada yang menyerahkan diri lagi tiga orang, dan harapan saya mereka dapat menyelesaikan secara lebih baik.
Jika memang seorang laki-laki, selesaikan dengan jantan, yang salah mengaku salah, yang tidak ya tidak mesti mengaku, kita akan buktikan itu dengan alibi-alibi, tentu ada penyelesaian dengan berbagai keringanan. Seandainya kita mengakumulatifkan semua itu, pasti bentrokan selanjutnya bisa dihindari, dapat selesai duduk disatu meja. Kalau memang tidak terbukti bersalah akan dilepaskan.
Menurut anda, apakah kepolisian perlu mengubah pola yang dilakukan dalam pengamanan terhadap DPO?
Saya sudah menghimbau agar kepolisian tetap akomodatif dan persuasif, harus berimbang kepada dua belah pihak. Dengan ada yang menyerahkan diri tiga orang tadi ternyata dapat membuka pintu komunikasi itu sangat kruisial dalam menangani kasus ini
Apakah perlu Densus 88 ini dibubarkan seperti permintaan beberapa pihak?
Kalau persoalan dibubarkan atau tidak, itukan kebijakan nasional, karena itu merupakan keputusan situasional dari negara, yang penting adalah bahawa mereka harus professional dan tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Kemudian mereka perlu melakukan penyelidikan dan penyidikan yang lebih seksama dulu sebelum melakukan penggerebekan. Misalnya dilihat dari sisi profesionalismenya mereka masih diperlukan, hanya kita juga ingin supaya meminimalisir korban agar tidak jatuh pada yang tidak diinginkan.
Kita semua menginginkan koreksi dan pembenahan di segala lini, baik diaparatnya maupun kelompok-kelompok yang bermasalah. Saya harapkan ada proses colling down saling koreksi lah, tinggal langkah-langkah ke depan tidak perlu memanas lagi tetapi menuju satu titik temu dan mendinginkan suasana.
Kondisi terakhir di sana seperti apa?
Saya melihat aparat kepolisian masih berjaga-jaga di sudut-sudut jalan, patroli masih tetap dilakukan, daerah rawan masih dijaga ketat Brimob masih dalam suasana seperti itu, pasukan juga ditambah 3 satuan setingkat kompi. Dan di beberapa daerah yang masih tegang ini hanya khusus daerah yang dikepung. Namun untuk daerah lain sudah terlihat toko-toko mulai buka. (novel)
SUMBER: eramuslim.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Bisa saja bangunan-bangunan rumah, tempat ibadah, pasar, terminal yang terbakar pada konflik Poso yang lalu, tidak lagi ditemukan bekas-bekasnya sekarang ini karena sudah direhabilitasi. Namun trauma akibat konflik tersebut pasti masih terbayang ataupun membekas dalam ingatan orang, terutama pelaku ataupun korban yang mengalaminya baik secara langsung maupun tidak langsung. Menghapus trauma memang tidak semudah membangun bangunan yang baru untuk mengganti yang telah rusak. Hal tersebut disebabkan konflik itu melibatkan massa, trauma yang ditimbulkannya adalah trauma kolektif. Efeknya bukan kesadaran historis yang berbasis peristiwa melainkan kesadaran yang berbekas dalam jiwa. Bekas peristiwa itu kemudian yang membentuk pola-pola kesadaran ataupun struktur mental yang negatif yang akan mempengaruhi prilaku aktual.
Tampaknya hal tersebut telah menjadi kesadaran dari berbagai pihak. Misalnya beberapa program yang telah dilakukan oleh pihak Polda Sulteng untuk menghibur para korban. Hal tersebut memang penting tapi tidak cukup. Sifat menghibur adalah menyenangkan tapi hanya sesaat, tidak abadi. Bila sudah bosan akan tidak efektif lagi. Karena itu diperlukan terapi yang menyeluruh terhadap semua yang terlibat, tidak terkecuali pihak kalah ataupun menang, Islam atau Kristen, penduduk Poso atau bukan dan seterusnya.
Lalu, apakah yang disebut trauma? Trauma adalah bekas atau torehan dari suatu peristiwa negatif di masa silam, tulis Budi F. Hardiman (2005) dalam sebuah bukunya. Sedangkan peristiwa negatif menurutnya adalah kehadiran sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan, dan manusia terseret ke dalam hal yang menakutkan itu tanpa mampu mengendalikan dirinya. Konflik Poso adalah peristiwa negatif karena didalamnya terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan, penindasan dan seterusnya pada manusia. Seterusnya, mengingat peristiwa konflik Poso sama dengan mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa negatif tersebut. Bagi korban yang mengalami atau melihat pembantaian keluarganya misalnya, berarti me-rewind peristiwa tersebut seakan baru saja terjadi di depan matanya. Inilah yang kemudian menimbulkan trauma.
Dampak dari peristiwa ini semakin membesar apabila dalam peristiwa negatif tersebut melekat suatu identitas tertentu misalnya agama. Penderitaan seorang individu menjadi penderitaan kolektif karena orang tersebut menganut agama yang sama dengan dirinya. Maka penderitaan yang dialami harus dibalaskan oleh semua orang yang seagama. Konflik Poso bermula dari sebuah kriminal murni yaitu perkelahian dua orang anak muda yang kebetulan berbeda agama. Terlepas dari adanya penyebab lain, perkelahian itu kemudian mejadi kerusuhan sosial yang berbau Sara yang massif.
Dikarenakan konfliknya bersifat massif maka trauma individu menjadi trauma kolektif atau dialami oleh banyak orang. Trauma itu sendiri, tulis Budi Hardiman, adalah berbasis peristiwa tapi trauma itu sendiri tidaklah berciri peristiwa. Dia adalah bekas yang membekukan peristiwa dan menghadirkan kembali serta melebih-lebihkan sisi gelapnya. Karena itu, tulis Budi Hardiman, juga trauma bagaikan seorang diktator yang mendikte kekinian korbannya.
Jika orang mengalami trauma maka akan susah menghapusnya.Apa yang dialami pada suatu peristiwa seakan-akan terulang terus-menerus seperti mesin yang digerakkan secara mekanis. Jika korban mengingat peristiwanya maka ia seakan-akan mau membalas peristiwa tersebut seketika. Sebaliknya korban mengingat ulang peristiwanya demi menghindari peristiwa itu kemudian terjadi lagi di masa depan. Karena itu menurut Budi Hardiman, mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan bagian dari mekanisme psikis yang tidak pernah dilepaskan. Korban ingin melupakannya, tetapi justru mengingatnya. Ingatannya akan negativitas peristiwa itu menajam justru saat dia ingin melupakannya. Budi Hardiman menyimpulkan, mengingat dan melupakan seolah-olah bergerak dalam sistem-sistem paksaan psikis dalam diri korban.
Dengan demikian prosesi pemaafan menjadi sulit. Si korban bukannya tak mau memaafkan pelaku, melainkan tak mampu keluar dari jerat-jerat prasangka yang menimpanya setiap saat. Bila ia memaafkan pelaku berarti dia merasa diinjak-injak harga dirinya. Gejolak batinnya ditindas oleh pelaku. Dia tak punya harga diri lagi. Terjadilah konflik batin yang menyesakkan dada. Ketika ego lebih besar yang dominan maka tindakan balas dendam menjadi sesuatu yang alamiah dan wajar.
Oleh karena itu diperlukan detraumatisasi.Detraumatisasi menurut Budi Hardiman, harus dimulai dengan semacam askese duniawi yang ditandai oleh tiga latihan, yaitu diam, ketenangan hati, dan merelakan. Penjelasannya sebagai berikut. Diam, bukanlah hilangnya bunyi, juga bukan membisu melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Manusia sebagai elemen massa mendengar prasangka kolektifnya dan bertindak menurutnya. Ada pemaksaan dari prasangka kolektifnya sehingga ia secara terpaksa juga bertindak walaupun tidak sesuai hati nurani. Hati nurani dipenjarakan oleh sebuah prasangka kolektif. Karena itu untuk menepis prasangka orang harus berlatih menjadi pendengar yang baik. Untuk itulah diam, sebagai pertanda memuncaknya bahasa, kulminasi komunikasi.
Ketenangan hati lahir dari sikap mendengarkan. Ketenanganan hati dapat dicapai melalui pengumpulan diri. Ketenangan hati diperoleh dari sebuah sikap keterbukaan. Di dalam ketenangan hati korban berkata “ya” sekaligus “tidak” terhadap traumanya. Dia berkata “ya” karena bekas traumatis itu membentuk jati diri individu dan sosialnya. Tetapi dia berkata “tidak”, karena jati diri itu mengarah ke masa depan. Diri yang tercerai berai oleh trauma dapat melupakan trauma dengan lari dari ketenangan hati dan membenamkan diri dalam kegaduhan. Tetapi ketercerai-beraian ini itu hanya dapat dikumpulkan kembali lewat membiarkan yang telah lewat, lewat langkah-langkah panjang dari kesabaran.
Askese untuk diam dan pengumpulan diri berkaitan dengan hal yang dasariah ini: merelakan. Merelakan berarti membiarkan ada. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaitisme, melainkan suatu upaya memutus rantai kekerasan. Detraumatisasi dimulai dengan merelakan. Artinya, tidak menghantam kata-kata dengan kata-kata-karena selama itupula orang masih berkubang dalam prasangka kolektif- melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Dan, dalam sikap mendengarkan orang menjadi dekat dengan dirinya, mengumpulkan diri dan memasuki ketenangan hati.
Jalan untuk menghapus trauma di Poso mungkin masih jauh. Demonstrasi baik pro maupun kontra terhadap hukuman mati Tibo dan kawan-kawan adalah cerminan sikap yang tidak bisa diam. Juga menggambarkan sebagai orang yang tidak memiliki ketenangan hati. Di atas segalanya demontrasi itu juga sebagai sikap yang tidak merelakan. Seperti kata Budi Hardiman, detraumatisasi adalah tindakan merelakan. Merelakan berarti melampaui mengingat dan melupakan.
Menghapus trauma konflik Poso bukan perkara memberikan kepuasaan material ekonomi atau memenuhi hasrat politik. Apalagi menghapus trauma bukan hanya sekedar menghadirkan artis dangdut untuk menghibur janda-janda korban kerusuhan Poso. Menghapus trauma harus dapat menyentuh kedirian yang terdalam bagi siapa saja yang mengalami. Jalannya berupa pendidikan dan pengasuhan yang harus mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri.Ini membutuhkan kearifan, hati nurani dan fikiran yang jernih. Bagaimana Pak Kapolda, setuju? Wallahu A’lam. (Diposting oleh saleh awal).
SUMBER: salehawal.blogspot.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Poso dalam dua pekan terakhir kembali bergejolak. Penggrebekan yang dilakukan Densus Anti Teror 88 terhadap 29 DPO kerusuhan Poso berbuntut panjang. Konflik antara aparat dan masyarakat menjadi seperti terbuka, yang selama ini aktor konflik dalam Poso lebih bersifat primordial, yakni konflik antar etnik Muslim dan Kristen sebagai imbas dari konflik di Maluku.
Menjadi menarik untuk ditilik kembali, mengapa dalam tiga bulan terakhir sejak eksekusi terhadap Tibo dan kawan-kawan (dkk) peta konflik etnik di Poso menjadi berubah. Bahkan kepolisian menetapkan hukum darurat sipil dengan perintah tembak di tempat kepada siapa saja yang membawa senjata api baik rakitan ataupun organik yang digunakan untuk tindak kekerasan. Tulisan ini akan menganalisis ekskalasi konflik di Poso dengan mempergunakan teori ABC dari Johan Galtung untuk memotret konflik Poso serta mencoba memberikan beberapa solusi.
Bingkai konflik
Konflik Poso dalam perspektif teori ABC Galtung merupakan konflik yang dihasilkan dari interaksi 3 faktor yang sangat deterministik satu sama lain. Faktor yang pertama adalah attitude, baik dari etnik yang berkonflik dengan aparat keamanan. Konflik dilandasi oleh kecurigaan dari etnik yang berkonflik kepada aparat keamanan yang justru diyakini sebagai aktor baru dalam konflik. Bertambahnya pasukan baik dari organ kepolisian ataupun tentara dalam batas tertentu belum menyebabkan de-eskalasi konflik, namun justru menjadi pemicu ekskalasi konflik itu sendiri.
Hal ini kemudian mengimbas ke dalam behavior dari bingkai konflik di Poso. Konflik etnik yang biasanya mempergunakan senjata seadanya kemudian mengalami ekskalasi cukup signifikan karena bertambahnya peredaran senjata baik rakitan ataupun organik sebagai akibat meluasnya konflik. Kepemilikan senjata menjadi sebuah keharusan bagi setiap yang berkonflik untuk bisa meningkatkan preferensi rasa aman. Sehingga dalam batas tertentu, kelompok yang berkonflik di Poso mempergunakan adagium politik perdamaian dari Von Clausewitz, barang siapa ingin damai, maka ia harus siap berperang. Logika ini telah tertanam kuat di tingkat elite dan massa dari aktor-aktor yang berkonflik.
Bertambahnya jumlah personel aparat keamanan dengan persenjataan yang lengkap justru bukan menimbulkan ketenangan masyarakat yang sedang berkonflik, namun justru mengundang kecurigaan. Jika aparat keamanan kemudian berpihak pada salah satu kelompok, maka keseimbangan kekuatan bagi yang sedang berkonflik menjadi timpang. Ketimpangan kekuatan inilah yang akan menjadi picu lahirnya agresi kelompok satu atas kelompok yang lain.
Perilaku untuk saling curiga ini tampaknya belum terselesaikan setelah konflik ini berjalan hampir 7 tahun berlalu. Hadirnya aparat keamanan belum berhasil menciptakan perasaan aman di masyarakat.
Meningkatnya ekskalasi konflik di Poso juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan contradiction. Terlalu banyaknya rumors yang berkembang sekitar konflik Poso menyebabkan arah konflik menjadi serba tidak jelas. Apakah ini konflik agama murni, atau bersintesis dengan konflik ekonomi, politik, atau bahkan rekayasa elite senantiasa berseliweran di tengah publik Poso.
Dalam pandangan Johan Galtung, berkembangnya isu yang tidak bertanggung jawab tersebut akan menyebabkan celah kontradiksi akan semakin melebar, sehingga berbuntut dengan semakin mengecilnya ruang kepercayaan satu sama lain. Aparat tidak dipercaya oleh masyarakat, antarmasyarakat saling tidak percaya, elite tidak dipercaya oleh massanya, atau bahkan jangan-jangan pemerintah juga sudah tidak percaya kepada masyarakat. Jika sudah demikian akutnya kontradiksi maka konflik akan menjadi sebuah benang kusut yang sulit diurai.
Public trust
Dari bingkai konflik tersebut tampak bahwa ekskalasi konflik lebih disebabkan oleh timbulnya ketidakpercayaan satu sama lain dari pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik Poso selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada pendekatan komunikasi antarbudaya yang berwatak persuasif. Birokrasi pemerintah yang terlibat dalam proses menciptakan tertib sipil di Poso lebih mengedepankan Kementerian Hankam, Kementerian Polsoskam, tetapi belum banyak mengedepankan kementerian Komunikasi dan Informasi.
Kepincangan informasi ini jelas menjadi salah satu aspek yang harus dibenahi oleh birokrasi pemerintah, jika memang pemerintah berikhtiar untuk menyelesaikan persoalan di Poso. Negosiator pemerintah harus memiliki kemampuan manajemen isu yang baik sehingga kehadirannya bukan menjadi aktor baru dalam konflik tetapi bisa mengurangi derajat kontradiksi antarpihak yang berkonflik.
Negosiator dengan senapan lengkap dan tembak di tempat sudah tidak efektif lagi karena justru dianggap sebagai sebuah tantangan. Senjata tidak lagi menjadi faktor untuk menekan pihak yang berkonflik untuk menghentikan konflik.
Public trust ini akan terciptanya jika proses penyelesaian konflik mengedepankan aspek human security. Public trust harus dibangun dengan sangat sistematis agar terjadi perubahan paradigma human security masyarakat Poso yang sedang berkonflik, dari memegang senjata dan nafsu untuk bermusuhan menjadi memegang cangkul dan nafsu untuk hidup berdampingan. Upaya mengubah paradigma human security ini jelas tidak akan tercipta jika pemerintah masih mengedepankan pendekatan human security by security approach.
Pemerintah memerlukan asistensi dari masyarakat sipil dalam upaya menabur bibit-bibit public trust dengan mengelaborasi nilai-nilai sipil yang sebenarnya sudah tertanam di masyarakat. Proses penaburan nilai kedamaian dan hidup berdampingan diharapkan berjalan secara alamiah, bertahap, dan kultural. Sehingga akan muncul sebuah penghormatan baru tentang apa itu nilai-nilai kedamaian.
Sekali lagi, pemerintah harus belajar banyak untuk tidak mudah untuk menumpahkan amunisi di setiap konflik yang beraroma primordialis. Jika pemerintah terlampau mudah menumpahkan amunisi maka sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap ekskalasi konflik primordial adalah pemerintah itu sendiri. (Oleh: Surwandono, Dosen Fisipol UMY dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UGM).
SUMBER: Republika
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Setelah berbulan-bulan damai mendadak Poso kembali memanas setelah sebuah kelompok bersenjata tak dikenal menyerang desa Kristen di kecamatan Poso Pesisir, Sulawesi tengah. Sembilan orang tewas, belasan luka dan puluhan bangunan termasuk rumah ibadah musnah dibakar. Peristiwa ini kembali mengundang tanda tanya keberhasilan perjanjian damai Malino. Namun menurut Thamrin Amal Tomagola, peneliti konflik dari Universitas Indonesia, pelaku serangan itu jelas bukan orang lokal apalagi dari kelompok muslim. Aktivis rekonsiliasi ini menduga keterlibatan salah satu faksi militer di TNI yang diperparah dengan ide pembentukan Propinsi Poso serta Kodamnya.
Thamrin Amal Tomagola [TAT]: Kita duga kecil kemungkinan itu dilakukan oleh komunitas lokal. Nah pasukan bersenjata yang tidak dikenal itu yang kita amati baik di Maluku maupun di Poso. Itu selalu beroperasi kalau kesatuan yang bertugas di situ mau ditarik. Itu terjadi di Tobelo. Nah di Poso itu diperparah memang sejak awal itu ada keinginan kalau misalnya kabupaten Poso itu ditingkatkan menjadi propinsi nah itu di dari pihak milier ada keinginan untuk membentuk Kodam baru.
Radio Nederland [RN]: Pak Endriartono Sutarto sendiri sudah mengatakan bahwa ini orang luar. Tapi yang disebut orang luar ini artinya apa?
TAT: Saya kira kalau waktu Laskar Jihad itu masih ada dan beroperasi nah itu kita bisa duga Laskar Jihad. Yang kedua yang bisa kita duga adalah jaringan dari Mujahidin yang ada hubungannya dengan Jemaah Islamiyah. Kalau dibilang orang luar, saya kira dua kandidat itu gugur. Yang tinggal adalah kelompok-kelompok militer. Itu yang kita nggak tau persisnya kelompok mana yang sebenarnya melakukan ini karena kalau dari penjelasan resmi dari pusat dari panglima TNI itu jelas, dia nggak mau lagi hal-hal seperti itu terjadi.
Kelompok-kelompok di lapangan itu kan bisa lepas sama sekali dari apa yang dikatakan pimpinanannya di pusat, yang apakah itu atas restu atau tanpa restu. Yang itu belum jelas. Waktu-waktu yang lalu kan dibiarkan, didiamkan. Itu kan sebenarnya restu diam-diam. Tapi praktek-praktek itu kan sebelum pak Endriartono menjadi Panglima. Nah sekarang sesudah dia jadi panglima ada langkah-langkah konsisten begitu untuk tidak lagi mengulangi hal-hal seperti itu. Jadi berarti ada faksi-faksi yang yang tidak bisa dia kendalikan dari pusat.
RN: Faksi seperti apa itu?
TAT: Di Maluku kan kita menduga kelompok tertentu dan kemudian terbukti. Di Poso juga ada operasi dari kelompok itu.
RN: Tapi ini kan sudah terlanjur. Artinya sudah ada konflik baru lagi di Poso. Dan biasanya serbuan dari daerah A ke B dari desa satu ke desa lainnya akan berbuntut lagi dengan pembalasan, jadi akan mulai lagi seperti itu?Bisa ya bisa tidak?
TAT: Kalau itu yang dikuatirkan kecil sekali kemungkinannya. Jadi yang paling positif dari tahap sesudah Malino itu baik rakyat di Maluku maupun rakyat di Poso itu mereka sadar bahwa mereka saat ini di adu domba. Dan ini permainan dan skenario orang dari luar. Nah kedua masyarakat itu baik di Maluku maupun Poso nggak bisa lagi diprovokasi seperti itu. Kalau sekarang penyerangan di kampung Kristen ada yang terbunuh, saya kira kecil kemungkinannya kelompok kristen berfikir itu dilakukan oleh komunitas Islam lokal dan kemudian mereka membalas. Dan perlu diingat di Poso itu kelompok yang paling punya inisiatif dan keinginan kuat untuk berdamai yang pertama itu adalah kelompok kristen. Dan yang pertama mereka melakukan loby-loby baik di tingkat lokal maupun nasional untuk segera pemerintah pusat mengambil inisiatif, akhirnya bermuara sampai perdamaian Malino itu. Saya kira kelompok Kristen di Poso itu cukup matang dan cukup dewasa dengan pengalaman pahit yang lalu untuk secara gegabah mengambil kesimpulan bahwa ini dilakukan oleh kelompok Muslim lokal dan mereka harus membalas. Saya kira tidak.
RN: Nah tapi anda mengatakan kepentingan untuk membuat Kodam baru. Nah itu apakah bisa jadi Endriartono Sutarto seharusnya tahu dong kalau ada Kodam baru mau dibentuk di sana. Tentunya ada kepentingan dia di sana?
TAT: Itu keinginan yang muncul sebelum dia jadi Panglima. Itu sudah dideteksi lama. Dan kemudian diikuti dengan kegiatan-kegiatan perdagangan coklat dan kemudian kayu dan sebagainya. Kayu di sana juga berharga. Itu ada kepentingan-kepentingan ekonomi terkait di situ. Keinginan untuk membentuk Kodam, dan apakah itu direstui oleh Endriartono, nah itu nggak jelas.
RN: Artrinya militer lokal bisa jadi terlibat aktif ya?
TAT: Yah paling kurang panglima di Makasar bisa diminta pertanggung jawabannya. Kenapa kok ada kelompok bersenjata yang tidak dikenal beroperasi kok dia nggak tau? nah kalau polisi itu nggak tau kadang-kadang kecepatan dan kegesitan militer itu kalau kita tahu jauh di atas polisi. Tapi masak militer nggak tahu?
Demikian Thamrin Amal Tomagola, peneliti konflik dari Universitas Indonesia.
(Radio Nederland Wereldomroep, Selasa 14 Oktober 2003 08:45 WIB)
SUMBER: Radio Netherland Hilversum
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Kekerasan seakan tak pernah lepas dari Bumi Sintuwu Maroso. Terhitung sejak 24 Desember 1998 hingga 22 Januari 2007, kekerasan terus meronai wajah Poso. Kekerasan itu seakan melumerkan sebuah harapan dan mimpi tentang sebuah negeri dengan kearifannya bertajuk Sintuwu Maroso. Pertanyaannya yang belum terjawab sampai kini adalah, mengapa kekerasan itu tak pernah lepas dari wajah Poso ? Padahal sejumlah deklarasi telah diteken, namun hasil, adalah tetap kekerasan, kematian, luka dan duka.
Jauh sebelum Deklarasi Malino disepakati pada penghujung tahun 2002, sebuah upaya membangun resolusi konflik di Poso sudah dilakukan, tepatnya pada 12 Juni 2000. Atas prakarsa Pemerintah Kabupaten Poso bersama Polri dan TNI, digagas sebuah pertemuan dengan para tokoh Islam dan Kristen di Balai Pertemuan Torulembah, di rumah kediaman Bupati Poso. Kapolres Poso itu, AKBP Drs. Jasman Baso Opu membacakan hasil kesepakatan perjanjian perdamaian yang ditanda tangani oleh unsur-unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Poso dan para tokoh-tokoh agama. Point penting dari perjanjian itu, adannya kesepakatan batas waktu kepada kedua kelompok yang bertikai untuk menyerahkan senjata maupun peralatan ”perang” yang digunakan bertikai kepada pihak keamanan. Batas waktu penyerahan senjata disepakati tanggal 12 s/d 15 Juni 2000. Kesepakatan lainnya adalah, bila batas waktu itu tidak diindahkan, pihak keamanan akan mengambil tindakan tegas.
Apakah isi perjanjian itu memberi memberi dampak yang signifikan untuk sebuah bangunan perdamaian yang permanen bagi masyarakat Poso? Jawabannya adalah tidak, senjata terus menyalak dan bom meledak disana sini. Dan tindakan tegaspun tak terlihat ketika itu. Poso kembali ke medan “perang” antar masyarakat sipil.
Kisah berikut masih cerita tentang sebuah jalan untuk menuju resolusi konflik Poso yang damai.. Di kota dingin Tentena, Kecamatan Pamona Utara, selama dua hari, tepatnya 13 dan 14 Agustus 2000, berlangsung pertemuan regional para gubernur se Sulawesi. Pertemuan rutin para gubernur itu membahas pembangunan regional di sulawesi . Karena giliran Sulawesi Tengah menjadi tuan rumah, maka focus pertemuan pada persoalan penyelesaian Konflik Poso.
Para gubernur se Sulawesi ketika itu, bersepakat untuk menjaga agar konflik Poso tidak melebar di luar Propinsi Sulawesi Tengah. Ketika itu lahir pula sebuah kesepakatan yang cukup menakjubkan, siapapun yang memulai konflik baru, akan menjadi musuh bersama rakyat Sulawesi. Namun kesepakatan yang diteken oleh para gubernur sulawesi dan beberapa tokoh masyarakat sulawesi yang hadir di Tentena, tetap tak memberi arti apa-apa untuk terbangunnya sebuah ”proyek” rekonsiliasi di Kabupaten Poso.
Mengapa pertemuan itu menjadi tidak efektif untuk meredam konflik di Poso? Jawabannya lagi-lagi karena karena tokoh-tokoh publik yang dilibatkan bukanlah aktor lapangan yang terlibat langsung dalam persentuhan konflik antar warga di Poso. Pasca pertemuan Tentena itu tetap saja melahirkan pertikaian-pertikaian susulan. Ketika itupun tak ada identifikasi siapa yang memulai menabuh genderang “perang” untuk dijadikan musuh bersama rakyat Sulawesi.
Pertanyaan berikutnya adalah, masih adakah kesepakatan diluar kesepakatan para gubernur Sulawesi dan tokoh-tokoh masyarakat pada 13 dan 14 Agustus 2000 ? Jawabannya yah! masih ada yang lain.
Dua belas hari setelah “Deklarasi Tentena” itu diteken para gubernur Sulawesi dan tokoh-tokoh masyarakat, tepatnya 22 Agustus 2000, diteras depan Kantor Bupati Poso, pada sore yang teduh, disaksikan Presiden Abdulrahman Wahid ketika itu, empat belas tokoh adat kembali menggelar ikrar dan janji untuk meredam konflik berdarah di Kabupaten Poso.
Pemerintah ketika itu sangat yakin, formula adat perlu dikedepankan untuk meredam kemarahan dua pihak yang bertikai. Empat belas tokoh adat itu melahirkan satu resolusi berupa kesepatakan adat yang dinamakan Rujuk Sintuwu Maroso.
Deklarasi adat itu dibacakan Pendeta Tobonda dalam Bahasa Daerah Pamona, kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dihadapan sejumlah petinggi penting di republik ini ketika itu. Mulai darii Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid, Panglima TNI. Widodo AS, Menteri Agama Tolchah Hasan, Menteri Dalam Negeri Suryadi, Kapolri Jendral Rusdihardjo, dan para Gubernur se Sulawesi. Kesepakatan Rujuk Sintuwu Maroso itu kemudian diserahkan kepada Presiden Wahid dengan tepukan dan siutan disana sini.
Yang agak lain ketika itu, nama-nama dewan adat yang meneken Rujuk Sintuwu Maroso itu beberapa diantaranya terasa sangat asing dikuping warga. Sebutlah misalnya Dewan Adat Ampana Kota. Dewan Adat Ampana Tete. Dewan Adat Tojo. Dewan Adat Ulubongka. Dewan Adat Una-Una Dewan adat Lore Utara. Majelis Kebudayaan Poso. Dewan Adat Pamona Utara, Dewan Adat Pamona Selatan. Dewan Adat Lore Selatan. Dewan Adat Poso Pesisir. Juga ada Dewan Adat Poso Kota dan Dewan Adat Lage.
Mungkin karena nama-nama Dewan Adat terasa aneh dikuping penduduk Poso ketika itu, akibatnya ratusan massa yang berjubel diluar halaman Kantor Bupati Poso mensoraki dengan beragam bentuk gaya dan suit-siutan yang merusak suasana. Suitan itu juga terbaca sebagai sebuah indikasi, masih rapuhnya kohesi sosial masyarakt Poso, karena beberapa nama yang mengatasnamakan dewan adat itu akar-akar kulturalnya kurang jelas dibasis massa.
Gagasan Rujuk Sintuwu Maroso saat itu adalah sebuah formula yang didesain sedemikian rupa agar terkesan warga Poso akan berdamai dan disaksikan langsung Presiden Gus Dur. Soal ongkos Rujuk Sintuwu Maroso, jangan tanya berapa harganya. Pasti mahal, apalagi biaya mendatangkan seorang Presiden di wialayah konflik.
Apakah setelah dibacakan Rujuk Sintuwu Maroso itu warga Poso kembali bisa menari dalam lingkaran modero, sebuah tarian tardisonal yang teramat bersahabat. Jawabannya sama dengan pertanyaan sebelumnya. Pertikaian dan pembunuhan, juga pembakaran rumah-rumah warga, terus saja berlangsung disekitar pinggiran kota Poso termasuk beberapa desa di Kabupaten Morowali, bekas wilayah Kabupaten Poso.
Catatan lainnya untuk merajut damai Poso kali dari kantor dewan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Pada tanggal 16 – 17 Juli 2001, lembaga DPRD Sulteng menfasilitasi pertemuan dengan menggelar dengar pendapat dengan para tokoh-tokoh agama, baik Islam maupun Kristen, termasuk Tim Rekonsiliasi bentukan Gubernur Aminudin Ponulele yang ketika masih dipanggung kekuasaan. Tim Rekonsialisasi dipimpin langsung Kolonel Gumyadi. Dari pihak Islam hadir Ketua Forum Perjuangan Umat Islam Poso Haji Adnan Arsal. Dari pihak Kristen terlihat Almarhun Pendeta Irianto Kongkoli, dan beberapa tokoh agama lainnya. Hasil dari forum dengar pendapat itu hanyalah sebuah upaya resolusi tanpa solusi. Yang terjadi perdebatan sengit yang tak berujung.
Kemudian, pada penghujung tahun, tepatnya 20 Desember 2002, Deklarasi Malino diteken di sebuah kawasan sejuk di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Namun deklarasi itu seakan kurang mendapat respon secara merata di selurah kawasan Kabupaten Poso. Sepuluh point dari deklarasi itu adalah sebuah upaya maksimal yang bisa di hasilkan, namun kurang memiliki daya pesona yang bisa merekatkan warga. Nasib dari deklarasi Malino itu nyaris sama dengan sejumlah deklarasi yang telah diteken berkali-kali. Deklarasi itu seakan tak memiliki orientasi dan daya implementasi di Kabupaten Poso.
Pengamat masalah sosial dari Universitas Tadulako Palu, Drs. Irwan Waris, Msi melihat, kurangnya daya implementasi dari Deklarasi Malino itu karena pemerintah membentuk kelompok kerja (Pokja) yang diisi para deklarator Malino dan para pihak lainnya justru tidak memiliki basis kultural di Poso, karena mereka orang-orang Palu. Juga kelompok kerja itu urai Irwan, bukan representasi dari dua kelompok yang bertikai, tapi beberapa diantaranya adalah representasi tokoh pilihan pemerintah.
Dari fakta seperti itu hingga hasil Deklarasi Malino itu, sampai kini ia belum sepenuhnya menjadi landasan bersama dalam membangun komunikasi sosial yang efektif. Buktinya kekerasan di Kabupaten Poso tak pernah lenyap, relasi antar warga belum sepenuhnya kembali ketitik nol seperti situasi Poso sebelum 24 Desember 1998. Belum lagi soal titik krusial yang terbiarkan selama ini, yakni belum pulihnya hak-hak keperdataan warga Poso, baik Islam maupun Kristen. Padahal soal hak-hak keperdataan itu menjadi salah satu poin dari sembilan poin lainnya dari deklarasi malino. Pada point tujuh dari deklarasi itu tertulis, “Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung”. Point ini tak pernah disentuh secara serius hinggi kini. Tak tergarapnya hak-hak keperdataan warga Poso, sama nilainya membiarkan salah satu dari akar masalah konflik terbiarkan begitu saja sampai larut.
Sejumlah deklarasi telah diteken, juga sejumlah forum dialog dengan para elit social dan elit-elit agama juga telah digelar, namun hasilnya belum menenteramkan warga Poso dari ancaman kekerasan yang sumbernya terkadang tak terduga datangnya. Dialog penting, juga menangkap DPO yang dipandang sebagai pemicu kekerasan juga penting. Namun tanpa upaya mencari akar masalah, sama artinya membiarkan masalah tak pernah selesai. Belum lagi soal dampak ekonomi warga akibat konflik warga itu membuat ribuan warga Poso tiba-tiba menjadi miskin, sementara recovery ekonomi tak jelas formulasi penyelesainnya.
Dari dulu, baik sebelum dan sesudah Deklarasi Malino diteken, respon pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflik horizontal di Poso terlihat sangat reaktif. Solusi yang disodorkanpun juga sangat artifisial. Pertanyaannya adalah mengapa demikian ? Dalam amatan Irwan Waris, apa yang dilakukan pemerintah selama ini dalam menyelesaikan konflik Poso justru lebih mengedepankan pendekatan keamanan. Aparat sipil dan para pemangku kepentingan dari komunitas sipil lainnya kata dosen sosiologi politik itu, justru kurang dilibatkan. Di era seperti sekarang harap Waris, kekuatan-kekuatan sipil harus makin dikedepankan. Karena pendekatan keamanan tanpa kendali, terkadang bisa berujung pada timbulnya kekerasan baru, yang justru potensial melanggenggkan konflik, akibat adanya amarah dari kelompok korban masyarakat sipil yang terkadang tidak mengerti persoalan.
Dalam kondisi tenang seperti sekarang ini di Poso, pemerintah tak boleh diam. Mestinya kata Irwan, pemerintah dan kelompok-kelompok sipil harus segera melakukan revitalisasi psikologi dan mendorog semangat kerja sama antar warga. hentikanlah metode pendekatan yang mirip pemadam kebakaran dalam menyelesaikan konflik Poso saran Irwan Waris.
Selama ini, respon pejabat publik di republik ini, bereaksi ketika bom meledak disana. Magnitude dan ”rating” Poso melejit disemua media massa. Setelah itu, kembali ketitik semula. Poso dibiarkan dan tak dihirau.
Sekarang ini, pemerintah dan aparat keamanan dalam menyelesaikan konflik Poso sedang fokus pada penangkapan sejumlah DPO Poso yang selama ini dituding menjadi biang kekerasan. Pemerintah seakan lupa, kalau masalah konflik Poso tak hanya berpusar pada persoalan perburuan dan penangkapan DPO itu. Seakan terlupakan, bahwa salah satu local point dari substnsi konflik Poso adalah, hilangnya rasa saling percaya (mutual trust) antar warga, juga dengan aparat kepolisian, termasuk terhadap wartawan yang terkadang dinilai kurang berimbang dalam memberitakan konflik Poso.
Mengapa rasa saling percaya itu masih sulit di bangun? Irwan Waris yang juga anggota kehormatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu itu melihat, rasa saling percaya tidak terbangun karena tidak adanya pihak yang bekerja untuk ”mencomblangi” para pihak yang bertikai. Pemerintah kata Irwan, seakan tak tau lagi harus melakukan apa. Yang dilakukan ungkap Dosen FISIP Universitas Tadulako itu adalah meredam kekerasan dengan cara kekerasan. Itulah yang terjadi pada aksi penyerbuan polisi pada 22 Januari 2007 lalu di kompleks Tanah Runtuh Poso, kontak tembak antara polisi dan kelompok sipil bersenjata hingga empat belas nyawa kembali melayang di bumi Sintuwu Maroso.
Padahal, tugas terbesar yang mestinya dikerjakan oleh pemerintah pusat dan Sulawesi Tengah, khususnya pemerintah kabupaten Poso adalah, merekatkan kembali rasa saling percaya (trust building) itu akibat gesekan sosial yang berdampak pada terjadinya disharmoni antar warga. Kalau ini belum tergarap secara serius, warga Poso yang multi etnik itu tak akan pernah menari dalam lingkaran modero yang bersahabat. (Penulis: jgbua) ***
SUMBER: ajipalu.wordpress.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
Tamu Perspektif Baru kali ini Zumrotin K. Susilo yang sudah saya kenal lama dan sangat dapat dipercaya apa dilakukan dan dikatakannya. Zumrotin sekarang Wakil Ketua Komnas HAM dan Ketua Tim penyelidikan kasus Poso. Jadi kita sekarang akan membicarakan mengenai kasus Poso, dimana banyak orang yang tidak mengetahui kasus sebenarnya. Beberapa minggu lalu saya melakukan percakapan mengenai kasus Poso di TV, dan kami mendapat perspektif tertentu dari acara itu dan bisa dilihat di www.perspektif.net.
Zumrotin menyatakan permasalahan di Poso hampir sama dengan Ambon yaitu diwarnai dengan konflik antar agama, tapi dibalik itu mungkin ada permasahan lain. Dia mengidentifikasi bahwa permasalahan yang terus timbul di Poso sampai sekarang ini karena ada sebagian masyarakat, yang dulunya adalah bagian korban, tidak mendapatkan penyelesaian hukum. Itu terkait kasus awal pada 2000 sampai 2003 dimana banyak keluarga mereka dibunuh. Kasus tersebut kemudian diselesaikan oleh deklarasi Malino yang dimotori oleh Jusuf Kalla. Jadi permasalahan Poso sampai saat ini terus terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap deklarasi Malino yang tidak diterapkan secara menyeluruh.
Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Zumrotin K. Susilo.
Bagaimana sebenarnya kasus Poso ini?
Seperti yang kita sudah tahu bahwa kasus Poso sudah berjalan hampir delapan tahun atau hampir sama dengan kasus Ambon. Permasalahannya hampir sama juga dengan Ambon, diwarnai dengan konflik antar agama, tapi dibalik itu mungkin ada permasahan lain. Saya ingin sampaikan juga bahwa Komnas HAM tidak memiliki tugas untuk menyelesaikan konflik, tapi Komnas HAM hanya memantau peristiwa Poso apakah ada pelanggaran HAM atau tidak.
Kita melihat ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh petugas ataupun masyarakat, seperti yang terjadi pada kasus 11 dan 22 Januari 2007. Kami mengindentifikasi semuanya. Saya sendiri turun ke lapangan setelah kasus Tanah Runtuh (peristiwa malam lebaran). Saya mengidentifikasi bahwa permasalahan yang terus timbul di Poso sampai sekarang ini karena ada sebagian masyarakat, yang dulunya adalah bagian korban, merasa tidak mendapat penyelesaian hukum. Itu terkait kasus awal pada 2000 sampai 2003 dimana banyak keluarga mereka dibunuh dan kemudian diselesaikan oleh deklarasi Malino yang dimotori oleh Jusuf Kalla. Satu lagi hasil identifikasi saya adalah kasus Poso terus terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap deklarasi Malino yang tidak diterapkan secara menyeluruh.
Jadi sewaktu Jusuf Kalla di TV mengatakan dia telah menyelesaikan masalah Poso pada tahun 2000 itu tidak sepenuhnya benar.
Dia memang menyelesaikan melalui deklarasi Malino. Dalam deklarasi Malino itu ada 10 poin. Pertama, hendaknya segera menghentikan konflik. Itu terpenuhi karena deklarasi itu dihadiri oleh tokoh-tokoh Nasrani dan Islam, kemudian mereka sepakat memberikan sosialisasi pada umatnya agar tidak terjadi konflik kembali. Poin pertama itu terpenuhi.
Poin kedua yang kemudian menjadi persoalan sampai saat ini. Poin ini menyatakan segala pelanggaran hukum harus ditindak. Artinya, siapa saja baik dari kaum Muslim ataupun Nasrani yang melakukan pelanggaran hukum baik itu pembunuhan, pengeboman, penculikan ataupun mutilasi harus diadili. Namun kemudian Jusuf Kalla, yang mungkin tanpa secara sadar, mengatakan hendaknya dikonsentrasikan pada sesudah Malino saja. Jadi artinya kasus sebelum itu tidak diproses hukum. Nah setelah itu saya melihat Polisi hanya memproses kasus Tibo. Kasus Tibo adalah salah satu kasus sebelum Malino. Namun dalam catatan saya, kasus sebelum Malino masih banyak yang belum diselesaikan. Misalnya, pembunuhan dan perkosaan di Malay, pembunuhan pegawai Pemda, lalu pembunuhan di Tentena.
Jadi memang ada beberapa kasus yang diproses tapi itu tidak seluruhnya. Ini yang kemudian menciptakan rasa ketidakadilan karena yang dikejar-kejar atau yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah orang yang melakukan pelanggaran hukum setelah Malino. Jadi yang tampil ke permukaan adalah penangkapan 29 DPO ini saja. Karena itu masyarakat yang keluarganya menjadi korban sebelum Malino merasakan adanya ketidak-adilan.
Apakah korban yang sebelum Malino itu merupakan lawan dari sesudah Malino?
Iya betul. Sebelum Malino itu korbannya adalah masyarakat Muslim dan jumlahnya cukup besar. Korban sesudah Malino adalah Kristiani. Jika dibandingkan maka jumlah korban Kristiani adalah 1/3 dari korban kelompok Muslim. Itu yang membuat ada rasa ketidakpuasan karena jumlah korban kelompok Muslim lebih banyak sementara proses hukum tidak berjalan seluruhnya. Ketidakpuasan tersebut menjadi perlawanan-perlawanan seperti yang terjadi saat ini, walaupun seharusnya tidak dilakukan dengan cara itu.
Jadi yang yang tidak puas adalah kelompok Islam, apakah di situ masuk kelompok radikal atau militan dan teroris international?
Sekali lagi, saya ini bukan intelejen. Tugas saya adalah memantau ada peristiwa pelanggaran HAM atau tidak. Tugas intelejenlah untuk mencari apakah ada Islam fundamentalis masuk ke sana atau tidak. Tapi dari wawancara saya dengan beberapa tokoh di sana, saya melihat memang mulai ada ajaran-ajaran yang radikal. Apakah itu karena dari orang luar masuk ke dalam atau lainnya, saya tidak tahu. Tapi yang jelas mulai ada radikalisme diantara mereka terutama di Kecamatan Poso Kota dan Poso Pesisir. Jadi diawali dengan rasa dendam dan tidak puas kemudian ada suntikan radikalisme di sana sehingga muncullah seperti yang terjadi di sana sekarang. Yang menghawatirkan saya adalah mulai ada ajaran bahwa darah lawan atau darah siapa saja yang tidak sepaham adalah halal. Ini menurut saya sudah menghawatirkan.
Apakah yang dipegang oleh kaum Muslim fundamentalis tersebut juga didukung oleh masyarakat Muslim yang tidak radikal?
Saya melihat setelah tanggal 22 Januari mulai ada kesadaran dari beberapa kelompok Muslim di Poso bahwa ini sesuatu yang membahayakan. Ada salah satu orang tua yang anaknya ikut masuk kelompok fundamentalis sangat kaget karena apa yang dilakukan anaknya tidak diketahui keluarganya. Saat mengetahui juga sangat kaget karena apa yang dipahami anaknya bahwa kalau bapaknya tidak sepakat dengan apa yang dipahami anaknya maka darah bapaknya juga halal.
Kalau dilihat secara sempit dan khusus serangan 22 Januari, menurut Komnas HAM, apakah di situ ada pelanggaran HAM atau tidak?
Saya melihat mulai dari Tanah Runtuh karena saya mengamati tiga peristiwa itu yaitu malam lebaran sampai 22 Januari. Ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat. Misalnya, pada saat Tanah Runtuh, saya menemukan data bahwa ada seorang petugas rumah sakit yang naik ambulan dan malam itu ditugaskan oleh rumah sakit untuk segera memberikan pertolongan untuk korban Tanah Runtuh tapi di tengah jalan ditahan Polisi dan dihajar di sana. Ini saya sampaikan juga kepada Kapolri dan data saya diakui oleh Kapolri,
Kalau menurut polisi, mengapa petugas itu ditahan?
Saya telah bertemu dengan korban dan menurut dia kesalahannya adalah karena dia berjenggot. Jadi walaupun sudah menyatakan bahwa dia petugas rumah sakit yang harus ke Tanah Runtuh karena ada korban yang kondisinya kritis, dokter jaga yang dihubungi polisi pun sudah membenarkan pernyataan petugas tersebut namun dia tetap tidak dilepaskan. Kepala Rumah Sakit kemudian berusaha menghubungi yang bersangkutan tetapi tidak bisa. Akhirnya, Kepala Rumah Sakit meminta bantuan TNI untuk melepaskan dia. Menurut saya, kondisi ini kurang baik karena menunjukan ada ketidakserasian antara kepolisian dan TNI karena yang ditahan kemudian ditolong TNI.
Kalau kita berbicara masalah HAM, apakah dalam serangan-serangan terakhir itu ada pelanggaran-pelanggaran HAM yang tidak perlu, maksudnya, kalau pikiran orang dalam menangkap teroris itu harus keras?
Tanggal 12 dan 22 Januari 2007 itu berbeda. Tanggal 12 memang penangkapan DPO. Komnas HAM mendukung penangkapan DPO karena memang orang dalam DPO ini melanggar hukum.
Jadi Komnas HAM setuju penangkapan DPO.
Setuju. DPO harus ditangkap dan diproses hukum. Ketika polisi memberi toleransi sampai lebih tiga bulan tidak menangkapnya, Komnas HAM juga sudah gemas mengapa tidak ditangkap-tangkap. Akhirnya, polisi melakukan penangkapan pada 11 Januari tapi dalam penangkapan DPO ini jangan sampai ada korban lainnya. Di situ memang ada korban tapi pada 11 Januari itu ada juga kesalahan masyarakat. Saat itu setelah pemakaman Ustad Riyan, masyarakat melakukan kekerasan dengan membunuh seorang polisi. Jadi kita melihat ada kesalahan yang dilakukan masyarakat dan ada juga kesalahan yang dilakukan oleh aparat.
Pada 22 Januari, menurut polisi, memang bukan penangkapan DPO namun lebih pada menghadapi masyarakat di satu desa yang sudah memiliki senjata. Jadi namanya operasi penangkapan terhadap masyarakat sipil bersenjata yang melakukan perlawanan. Tapi kalau kita amati secara keseluruhan dalam hal ini ada beberapa hak yang dilanggar. Lepas dari siapa yang melakukannya, tetap harus dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Dalam hal ini hak hidup sudah terlanggar karena ada masyarakat sipil yang terbunuh.
Poin mengenai masyarakat sipil oleh polisi disangkal. Menurut polisi, sipil kalau bersenjata bukan sipil lagi.
Yang terjadi pada 22 Januari memang sipil membawa senjata. Tapi pada 11 Januari ada sipil yang meninggal dan tidak membawa senjata. Untuk sipil membawa senjata, saya sepakat ada ketentuan tersendiri. Ada undang-undang tahun 1957 yang menyatakan bahwa masyarakat sipil tidak bersenjata. Tapi ada hak hidup dan hak rasa aman yang terlanggar. Penangkapan-penangkapan dan operasi-operasi yang seharusnya lebih mengedepankan intelejen tapi kurang dilakukan sehingga yang terjadi show force (unjuk kekuatan – red). Itu mengakibatkan masyarakat justru merasa tidak aman.
Kasus Poso secara keseluruhan termasuk diantaranya adalah pelanggaran hak keperdataan masyarakat. Banyak masyarakat yang setelah kasus Poso tidak berani datang ke tempat tinggalnya atau kebunnya sehingga hak keperdataannya hilang. Ini juga harus diperhatikan karena ratusan yang mengalami hal ini. Jadi ini terkait beberapa prinsip HAM yaitu hak hidup, hak rasa aman, hak bebas dari rasa ketakutan. Atas dasar itu Komnas HAM meminta kepolisian dalam melakukan operasi mengedepankan intelejen. Yang lainnya adalah kekerasan, kita juga menerima pengaduaan dari keluarga DPO yang tertangkap yang mengalami siksaan. Itu jelas tidak boleh terjadi.
Ketika Anda bertemu masyarakat, bagaimana kegundahan masyarakat? Apakah masyarakat sangat terpengaruh dan berpihak?
Pada awalnya, ini sebenarnya terkonsentrasi pada satu desa. Memang pada saat kami ke sana ada rasa ketakutan masyarakat, terutama ketika memberikan keterangan. Walaupun mereka tahu kami dari Komnas HAM mereka tidak percaya sepenuhnya. Tapi kemudian kami mewawancarai Adnan As'ar, seorang tokoh di Tanah Runtuh yang juga ikut dalam deklarasi Malino. Awalnya, dia diminta Kepolisian untuk menyampaikan kepada masyarakat di sana agar menyerahkan diri. Dia mendapat kesempatan itu dan menyerah tidak mampu melakukan itu. Setelah kami bisa mewawancari Adnan, satu persatu masyarakat bisa kami wawancarai memberikan kesaksiannya. Tapi perlu kami tegaskan di sini, Komnas HAM hanya mewawancarai saksi mata saja karena ini adalah penyelidikan dan ini baru pelanggaran HAM biasa. Kita mewawancarai saksi mata sebagai data primer, sedangkan untuk data sekunder seperti berita dari media massa atau orang yang mendengar saja semuanya hanya kita tampung.
Ini semua sekarang ditangani oleh polisi. Apakah ada perbedaan penanganan antara dulu ketika ditangani TNI dan sekarang oleh polisi?
Sebenarnya TNI adalah alat untuk pertahanan negara. Jadi kalau negara diserang oleh internasional, maka TNI yang bertindak untuk pertahanan. Tapi kalau ada kekacauan masyarakat biasa maka itu ditangani oleh polisi sebagai keamanan.
Apakah kompetensinya sama atau beda?
Berbeda. TNI untuk pertahanan menghadapi serangan dari luar. Polisi menghadapi kasus keamanan seperti kerusuhan. Tapi polisi boleh meminta bantuan TNI saat mereka tidak bisa mengatasinya. Misalnya, di suatu daerah hanya memiliki 50 personel polisi sementara penduduknya 1.000 orang maka melalui beberapa tahapan polisi bisa meminta bantuan TNI.
Komnas HAM dalam melakukan pekerjaan sekarang ini, apakah mempunyai ruang gerak yang lebih baik dari yang dulu atau sama saja?
Menurut saya, sama saja. Masalahnya hasil kerja Komnas HAM berupa rekomendasi sehingga tergantung bagaimana tindak lanjut dari rekomendasi tersebut. Jadi Anda bisa melihat itu dari apa yang telah dikerjakan Komnas HAM. Misalnya, pelanggaran HAM berat mulai dari penghilangan orang secara paksa, 13 aktivis diculik, kasus semanggi I dan II, dan kasus Trisakti selesai dikerjakan Komnas HAM tapi tidak ditindaklanjuti. Rekomendasi yang lain seperti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian juga tidak ditindaklanjuti. Tapi sekarang kami memiliki semacam MoU dengan Kepolisian. Setiap temuan komnas HAM yang mengidentifikasi ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi, maka polisi harus menindaklanjuti. Kita memang harus mempunyai terobosan-terobosan semcama itu karena kalau berdasarkan undang-undang kita hanya bisa memberikan rekomendasi.
Apakah daftar rekomendasi itu bisa dipublikasikan sehingga bisa diketahui mana yang sudah dilaksanakan?
Saya rasa bisa saja seperti penangkapan polisi terhadap petugas rumah sakit. Sekarang polisi yang menangkap sudah disidangkan.
SUMBER: perspektifbaru.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
”Kami sekarang seakan dilahirkan kembali. Setelah bertahun-tahun berusaha untuk saling mengubur rasa dendam, rasa saling curiga, barulah sekarang kami benar-benar merasakan perdamaian sesama warga Poso,” kata Muhammad Ramli, seorang pedagang di Pasar Sentral Poso.
Apa yang dikemukakan pedagang barang campuran itu, memang benar adanya. Poso yang pernah dilanda konflik menahun, hampir tidak pernah sepi dengan gangguan keamanan.
Walaupun Deklarasi Malino sudah disepakati kedua pihak yang bertikai, toh masih saja ada gangguan keamanan yang meresahkan warga. Malahan, ketika dilakukan pertemuan para deklarator Malino di Palu yang difasilitasi Menko Kesra HM Jusuf Kalla, masih saja terjadi kekacauan-kekacauan yang kembali menelan korban jiwa.
Namun setelah peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) di pusatkan di Poso, meski tidak dihadiri Presiden Megawati Soekarnoputri-hanya diwakili Mensos Bachtiar Chamsah, nuansa damai mulai membumi di tanah Poso.
Puncak peringatan HKSN yang dipusatkan di Poso tidak sia-sia, dan benar-benar membawa sasana kesejukan bagi warga Poso. Sejak kegiatan nasional itulah, sampai sekarang, tidak ada lagi insiden yang terjadi di Poso.
Kabupaten Poso menampakan perubahan yang sangat berarti. Dulu, masyarakat daerah itu terkesan seram. Orang Poso menyambut setiap pendatang dengan tatapan mata yang penuh curiga.
Bunyi ledakan bom rakitan dengan deringan tiang listrik menjadi simbol ketegangan. Tetapi kini semua berubah total. Orang Poso menyapa tamunya dengan santun dan ramah.
Tidak ada lagi tatapan mata yang mencurigakan dari warga Poso. Secara umum, indikasi yang dapat dijadikan ukuran bahwa Poso sudah aman, dapat dilihat suasana di pasar Sentral Poso.
Saban hari, pasar yang terletak di tengah kota itu sudah dipadati warga. Petani sudah berani membawa hasil-hasil perkebunannya untuk dijual di pasar, dan ketika mereka pulang membawa barang-barang kebutuhannya.
Sekarang pula, tidak ada lagi warga yang merasa ketakutan untuk pergi bekerja di kebun. Mereka tidak punya rasa ketakutan lagi jiwanya terancam. Malahan, rata-rata warga sudah berani menginap di kebunnya, yang dulunya untuk pergi ke kebun saja tidak ada yang berani.
”Sekarang memang Poso jauh berubah setelah peringatan HKSN. Acara itu seakan mengubur semua rasa dendam dan perselisihan sesama warga. Hikmah peringatan HKSN luar biasa bagi masyarakat Poso,” kata salah seorang tokoh masyarakat di Poso, H Jahja Mangun kepada SH.
Ketua MUI Kabupaten Poso itu menilai, kondisi yang kondusif sekarang ini perlu untuk dijaga semua pihak. Termasuk aparat keamanan. Sebab, biasanya, tingkah laku oknum aparat keamanan bisa menimbulkan insiden yang berakibat fatal.
Artinya, bilamana ada hal-hal kecil, hendaknya ditangani secara arif, tidak dengan kekerasan sehingga tidak menimbulkan efek yang bisa melahirkan anggapan Poso belum aman.
”Pokoknya, siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum, aparat keamanan jangan pandang bulu, harus diselesaikan sesuai proses hukum. Sebab dengan demikian, akan ada rasa takut bagi warga untuk melakukan pelanggaran hukum, yang ketika terjadi konflik semua warga bisa saja berbuat sesukanya,” kata Jahja Mangun.
Indikasi umum lainnya yang mencerminkan Poso sudah relatif aman, adalah semakin banyaknya arus lalu lintas kendaraan pribadi maupun bus-bus dari Makassar ke Palu dan sebaliknya.
Jalur trans Sulawesi yang menghubungkan Kota Poso dengan Tentena sepanjang 58 km yang tadinya sangat sepi dengan arus lalu lintas, kini sudah kembali normal seperti sebelum terjadinya konflik. Malahan, bus-bus dan kendaraan pribadi tidak punya rasa takut lagi melewati jalur itu di malam hari. Padahal sebelumnya, sudah untung bila ditemukan satu bus yang lewat di jalur itu di siang hari.
”Dulu, dari Palu ke Kolonodale, Kabupaten Morowali, saya harus lewat siang hari di Tentena. Tetapi sekarang, saya lewat tengah malam pun, tidak ada lagi rasa was-was untuk dicegat. Saya merasakan kenyamanan untuk melintasi jalur itu,” kata Nyong, warga Palu yang kerap kali bolak-balik Palu-Kolonodale melewati Poso dan Tentena.
Bukan hanya suasana pasar dan jalur trans Sulawesi itu saja yang menjadi ukuran bahwa Poso benar-benar sudah aman. Tetapi aktifitas keseharian warga juga tampak sudah normal seperti sebelumnya. Sekolah-sekolah sudah berjalan seperti biasanya. Para guru yang tadinya banyak mengungsi, sudah kembali ke daerahnya untuk mengajar. Anak-anak sekolah yang juga ikut mengungsi, kini sebagian besar sudah kembali ke kampungnya dan mengikuti sekolah dengan baik.
”Setelah daerah kami dilanda konflik yang menahun, barulah sekarang benar-benar kami menikmati kedamaian. Memang, kami seakan baru dilahirkan kembali. Kondisi inilah yang menjadi modal besar bagi kami untuk kembali membangun Poso,” kata Bupati Poso Abd Muin Pusadan.
Menurutnya, dengan suasana yang ada sekarang, pemerintah setempat sudah menyusun prioritas-prioritas yang segera dibenahi. Antara lain, Pasar Sentral Poso sudah kembali difungsikan dengan baik oleh warga. Itu berarti, denyut perputaran perekonomian mulai berjalan kembali seperti semula.
Warga juga sudah mulai membenahi kembali kebun-kebunnya yang selama beberapa tahun terakhir ini tidak pernah dirawat. Itu pertanda, sudah mulai ada tanda-tanda kehidupan di Poso. Tetapi Bupati Muin Pusadan masih memprioritaskan pembangunan rumah tinggal sementara (RTS) di Poso.
Masih ribuan RTS yang harus dibangun. Sebab, dengan berdirinya RTS, praktis warga Poso yang sampai sekarang masih berada di daerah pengungsiannya akan segera kembali ke kampungnya. Mereka masih sangat diharapkan untuk segera kembali, sehingga Poso yang pernah dicabik-cabik pertikaian bisa kembali dibangun bersama-sama.
Bupati Poso menilai, terciptanya kondisi aman seperti sekarang ini, merupakan dari hasil kerja keras semua pihak yang berusaha untuk melupakan peristiwa-peristiwa berdarah yang menelan ratusan korban jiwa. Terutama kelompok-kelompok kerja (Pokja) yang dibentuk untuk mensosialisasikan 10 butir isi Deklarasi Malino. Paling tidak, sekitar dua tahun usaha -usaha itu dilakukan, dan barulah sekarang buahnya dinikmati, yaitu suasana damai.
”Damai itu indah, dan itulah yang dirasakan warga Poso sekarang. Kondisi itulah yang perlu dijaga bersama-sama. Kita semua sudah berupaya mengubur rasa dendam, saling curiga, dan sekaranglah kita memanen hasilnya, yaitu suasana damai,” kata Muin Pusadan.
Kubur Kecurigaan
Suasana yang digambarkan Muin itu memang semakin terasa bila kita ke Poso atau ke Tentena, dua daerah yang sebelumnya saling bermusuhan. Warga seakan mampu mengubur pelan-pelan suasana saling curiga-mencurigai itu. Masyarakat Poso kini mulai menunjukkan keberaniannya memasuki kota Tentena yang terkenal dengan keindahan panoramanya itu. Hal yang sama, juga diperlihatkan masyarakat Tentena, tidak ada keraguan lagi untuk melintas di pusat Kota Poso.
Masyarakat Tentena tidak pernah lagi menatap setiap pendatang di daerahnya dengan mata yang tajam. Suasana persaudaraan yang diperlihatkan semakin kental, seindah suasana Tentena yang dikelilingi Danau Poso yang memiliki air jernih. Pohon-pohon cengkeh yang tumbuh di sebelah barat Tentena, tertata rapi menambah kesan keindahan alamnya.
Dua penginapan di Tentena yang tadinya tidak terurus, kini mulai diufngsikan dengan baik. Di kota ini terdapat dua penginapan yang populer, Intim Danau Poso dan Pamona Indah. Kedua penginapan itu terletak di tepi Danau Poso. Salah seorang pelayan penginapan itu mengatakan, sebelum terjadi konflik, wisatawan asing maupun domestik tidak pernah kosong di dua penginapan itu. Tetapi sejak terjadinya konflik, apalagi tewasnya seorang warga Italia oleh penembak misterius, para bule pun tidak ada lagi yang berkunjung ke Tentena.
”Kami berharap, dengan kondisi yang sudah membaik seperti sekarang ini, akan banyak lagi bule yang datang melancong ke Tentena. Di sinilah para bule itu dapat menikmati makanan khas sogili (sejenis belut yang ada di dalam Danau Poso),” kata Noldi Tacoh, salah seorang tokoh di Tentena.
Tentena menurut Noldi, merupakan ibu kota Kecamatan Pamona Utara, memiliki 18 desa dan kelurahan. Kini memang sedang menata diri. Menariknya, lokasi permukiman belasan ribu pengungsi akibat konflik, sudah tertata rapi. Beberapa kamp penampungan pengungsi yang telah tertata rapi itu antara lain bekas landasan pacu pesawat terbang di Tentena.
”Mereka sekarang adalah pengungsi yang mandiri. Rumah-rumah itu dibangun atas swadaya masyarakat,” kata Noldi, Ketua Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Sejak beberapa pekan terakhir ini, menurut Noldi maupun Abd Malik Sjahadat, Wakil Bupati Poso, hampir sepanjang jalan terlihat warga yang membawa parang. Tetapi, parang bukan lagi untuk digunakan saling baku bunuh. Namun, warga menggunakan parang untuk membersihkan jalan-jalan utama yang selama terjadinya konflik nyaris ditutupi rerumputan karena tidak pernah ada orang yang membersihkannya.
”Tanpa diperintah, warga sendiri yang membersihkan jalan-jalan utama dari rerumputan yang sudah tumbuh menutupi badan jalan. Sebab sekarang ini mereka sudah mulai merasakan suasana kehidupan yang aman dan damai,” kata Malik Sjahadat.
Tampaknya, kerja Pokja untuk mensosialisasikan 10 butir isi Deklarasi Malino selama ini tidak sia-sia. Setelah warga memahami isi Deklarasi Malino yang diikuti dengan tindakan di lapangan, kini warga Poso menuai suasana damai seperti sebelum terjadinya konflik.(SH/tasman banto)
SUMBER: sinarharapan.co.id
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com