PADA 5 Desember 2007 lalu, saya bersama juru kamera RCTI Upik Nyonk, koresponden Global TV Iwan Lapasere, juru kamera Metro TV Harry Laturadja dan reporter KBR 68H Erna Dwi Lidiawati berangkat ke Poso, Sulawesi Tengah. Pukul 22.00 Waktu Indonesia Tengah kami bertolak dari Palu. Perjalanannya santai. Pukul 03.00 WITA barulah kami tiba di Poso.
Sepanjang jalan suasana tenang sudah mulai terasa. Tidak ada lagi Polisi garang yang berjaga dengan senjata laras panjang di tangan menghentikan mobil dan memeriksa penumpangnya. Meski pos-pos pengamanan masih berdiri sepanjang jalan menuju ke Poso.
Perjalanan saya ke Poso kali ini adalah yang kesekian kalinya sejak konflik sosial mengharubiru kabupaten penghasil kayu mewah Ebony itu pada 1998. Kali ini, saya hendak meliput Festival Danau Poso. Akronimnya FDP.
Ya, FDP. Kata itu seperti mantera yang mengingatkan orang bahwa di Poso dahulu masyarakatnya saling berjabatan tangan dan hati dengan erat. Namun kemudian konflik
Sembilan tahun lamanya FDP terhenti akibat konflik, yang membuat persaudaraan antara komunitas berbeda keyakinan terkoyak.
Festival ini pertama kali digelar di Kota Tentena oleh Dinas Pariwisata pada 1989 untuk mempromosikan keragaman budaya Sulawesi Tengah. Festival yang saban tahun digelar ini terhenti pada 1997 akibat konflik sosial yang melanda poso.
Dinas Pariwisata berharap digelarnya lagi Festival ini bisa mengabarkan kepada dunia, bahwa Poso sudah aman untuk dikunjungi para wisatawan asing maupun domestik. Festival ini dihelat sejak 6 desember hingga 10 Desember.
"Kita harus mampu memproklamirkan kepada dunia nasional dan internasional bahwa inilah Poso kini. Kami akan memadamkan bara api yang pernah menyala melalui kearifan lokal yang terwariskan secara turun temurun. Jadi bantu kami," kata Jethan Towakit, Wakil Kepala Dinas Pariwisata Sulteng.
To Wna Bawa Damai
Di tepian Danau Poso, 57 kilometer arah tenggara Kota Poso ajang budaya seperti lomba perahu hias, perahu dayung dan pagelaran seni tradisional dari beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah digelar selama FDP.
Salah satunya adalah pagelaran tradisi yang ditampilkan Suku Wana, dari Morowali. Mereka tampil memukau hati.
Mereka menyuguhkan tradisi Dendelu dan Salonde, sebuah tradisi menyambut tamu di mana para perempuannya menyuguhkan pinang dan sirih untuk menginang. Lalu para lelaki menyambut para tamu yang datang itu dengan tarian. Ada pula suguhan tradisi Momago, ritual pengobatan tradisional yang dilakukan oleh para tetua adatnya.
Nilai-nilai kekeluargaan begitu terasa. Gotong royong, kebersamaan dan saling memahami peran antara lelaki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu mewujud dalam interaksi mereka saat Dendelu dan Momago. To Wana membawa amai ke Poso yang penuh bara api di tahun-tahun sebelumnya.
Tidak hanya warga setempat yang kagum menyaksikan suguhan tradisi suku Wana itu, Manuela, warga Negara Jerman pun terkesima.
"Indah, sungguh indah. Itu cantik. Ini kali pertama saya di Sulawesi dan saya melihatnya pula untuk pertama kali. Saya pikir itu sangat baik dan oke,"
Festival ini memang seperti terlahir kembali setelah lama mati suri. Karenanya suasananya menjadi terasa berbeda dengan festival di tahun-tahun sebelumnya. Dulunya, suku-suku pedalaman bahkan mau turun gunung untuk menyaksikan pentas budaya ini. Mereka bahkan rela tidur di teras-teras rumah penduduk setempat. Pemandangan itulah yang kini hilang.
Rinaldy Damanik, pendeta dan salah seorang peserta Festival sebelumnya menyampaikan perasaan hatinya.
"Saat itu, semua orang punya hubungan baik dengan semuanya. Tidak ada perkelahian. Ada lmba-loma, ada yang menang, ada yang kalah. Itu biasa aja. Itu menarik sekali, itu yang kita rindukan, seperti dulu. Saling mendukung, saling mengsupport. Tidak ada caci maki, yang banyak itu tepuk tangan dan jabat tangan," ungkap Damanik.
Semua warga berharap festival ini bisa kembali mempererat tali persaudaraan. Seperti harapan Matatias Konda, salah seorang warga tentena.
"Dengan adanya festival ini, kami merasa rasa persaudaraan itu sangat erat. Di sinilah tempat kami mencurahkan segala kegembiraan kami kepada teman-teman yang tidak kami rasakan lagi hal-hal seperti ini," sebut Matatias.
Tentu saja harapan Matatias, bukanlah harapan kosong belaka. Itu adalah harapan semua orang yang ingin melihat Poso kembali damai seperti sedia kala. Agar mereka kembali menikmati indahnya matahari terbenam di Danau Poso dan riuh rendah suara anak-anak bermain kecipak air di danau indah itu.***
SUMBER: media-sulawesi.blogspot.com
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu
Email: posobersatu@gmail.com
Blog, Video, Lagu, dan Foto: http://posobersatu.multiply.com
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar